Jumat, 27 Januari 2012

Memandang Allah sebagai balasan bagi kekasih Allah

MEMANDANG ALLAH

Cinta kepada Alloh ini adalah hal yang paling tinggi sekali dan itulah tujuan kita yang terakhir. Kita telah berbicara berkenaan bahaya kerohanian yang akan menghalangi cinta kepada Alloh dalam hati manusia, dan kita telah berbicara berkenaan berbagai sifat-sifat yang baik sebagai keperluan asas menuju Cinta Alloh itu.
Kesempurnaan manusia itu terletak dalam Cinta kepada Alloh ini. Cinta kepada Alloh ini hendaklah menakluki dan menguasai hati manusia itu seluruhnya. Kalau pun tidak dapat seluruhnya, maka sekurang-kurangnya hati itu hendaklah cinta kepada Alloh melebihi cinta kepada yang lain.
Sebenarnya mengetahui Cinta Ilahi ini bukanlah satu hal yang senang sehingga ada satu golongan orang bijak pandai agama yang langsung menafikan cinta kepada Alloh atau Cinta Ilahi itu. Mereka tidak percaya manusia boleh mencintai Alloh Subhanahuwa Taala karena Alloh itu bukanlah sejenis dengan manusia. Kata mereka; maksud Cinta Ilahi itu adalah semata-mata tunduk dan patuh kepada Alloh saja.
Sebenarnya mereka yang berpendapat demikian itu adalah orang yang tidak tahu apakah hakikatnya agama itu.
Semua orang Islam setuju bahwa cinta kepada Alloh (cinta Alloh) itu adalah satu tugas. Alloh ada berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin;
” Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. “. (Al Maidah:54)
Nabi pernah bersabda;
“Belum sempurna iman seseorang itu hingga ia Mencintai Alloh dan Rasulnya lebih daripada yang lain”.
Apabila malaikat maut datang hendak mengambil nyawa Nabi Ibrahim,
Nabi Ibrahim berkata,
“Pernahkah engkau melihat sahabat mengambil nyawa sahabat?”
Alloh berfirman,
“Pernahkah engkau melihat sahabat tidak mau melihat sahabatnya?”
Kemudian Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Izrail! Ambillah nyawaku!”
Doa ini diajar oleh Nabi kepada sahabatnya;
“Ya Alloh, kurniakanlah kepada ku Cinta terhadap Mu dan Cinta kepada mereka yang Mencintai mu, dan apa saja yang membawa aku hampir kepada CintaMu, dan jadikanlah CintaMu itu lebih berharga kepadaku dari air sejuk kepada orang yang dahaga.”
Hasan Basri berkata;
“Orang yang kenal Alloh akan Mencintai Alloh, dan orang yang mengenal dunia akan benci kepada dunia itu”.
Sekarang marilah kita membicarkan pula berkenaan dengan keadaan cinta itu. Bolehlah ditafsirkan bahwa cinta itu adalah kecenderungan kepada sesuatu yang indah atau nyaman. Ini nyata sekali pada dari yang lima (pancaindera) yaiitu tiap-tiap satunya mencintai apa yang memberi keindahan atau kepuasan kepadanya. Mata cinta kepada bentuk-bentuk yang indah. Telinga cinta kepada bunyi-bunyinya yang merdu, dan sebagainya. Inilah jenis cinta yang kita miliki dan binatang pun memilikinya.
Tetapi ada dari yang keenam atau keupayaan pandangan yang terletak dalam hati, dan ini tidak ada pada binatang. Dengan melalui inilah kita mengenal keindahan dan keagungan keruhanian. Oleh karena itu, mereka yang terpengaruh dengan kehendak-kehendak jasmaniah dan kedunian saja tidak dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh Nabi apabila baginda berkata bahwa baginda cinta kepada sembahyang melebihi dari cintanya kepada perempuan dan bau harum wangi, meskipun perempuan dan wangi-wanginya itu disukai juga oleh baginda. Tetapi siapa yang mata batinnya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Ilahi akan memandang rendah kepada semua hal-hal yang zhohir walau bagaimanapun cantiknya sekalipun.
Orang yang memandang zhohir saja akan berkata bahwa kecantikan itu terletak pada warna kulit yang putih dan merah, kaki dan tangan yang eloknya dan sebagainya lagi, tetapi orang ini buta kepada kecantikan akhlak, seperti apa yang dikatakan orang bahwa seseorang itu mempunyai sifat-sifat akhlak yang “indah”. Tetapi bagi mereka yang mempunyai pandangan batin dapat mencintai orang-orang besar yang telah kembali kealam baka, seperti Khalifah Umar dan Abu Bakar misalnya, karena kedua-dua orang besar ini mempunyai sifat-sifat yang agung dan mulia, meskipun tubuh mereka telah hancur menjadi tanah. Cinta seperti ini bukan memandang kepada sifat-sifat zhohir saja, tetapi memandang kepada sifat-sifat batin. Bahkan apabila kita hendak menimbulkan cinta dalam hati kanak-kanak terhadap seseorang, maka kita tidak memperihalkan keindahan bentuk zhohirnya, dan lain-lain, tetapi kita perihalkan keindahan-keindahan batinnya.
Apabila kita gunakan prinsip ini terhadap cinta kepada Alloh, maka kita akan dapati bahwa Dia sajalah sepatutnya kita Cinta. Mereka yang tidak mencintai Alloh itu ialah karena mereka tidak mengenal Alloh itu. Apa saja yang kita cinta kepada seseorang itu, kita cintai karena itu adalah bayangan Alloh. Karena inilah kita cinta kepada Muhammad Saw karena baginda adalah Rasul dan kekasih Alloh, dan cinta kepada orang-orang alim dan orang-orang auliya itu adalah sebenarnya cinta kepada Alloh.
Kita akan lihat ini lebih jelas jika kita perhatikan apakah sebab-sebabnya yang menyemarakkan cinta.
Sebab pertama ialah, bahwa seseorang itu cinta kepada dirinya sendiri dan menyempurnakan keadaannya sendiri. Ini membawanya secara langsung menuju Cinta kepada Alloh, karena wujudnya dan sifatnya manusia itu adalah semata-mata Kurniaan Alloh saja. Jika tidaklah karena kehendak Alloh Subhanahuwa Taala dan KemurahanNya, manusia tidak akan zhohir ke alam nyata itu. Kejadian manusia itu dan pencapaian menuju kesempurnaan adalah juga dengan kurnia Alloh semata. Sungguh aneh jika seseorang itu berlindung ke bawah pohon dari sinar matahari tetapi tidak berterima kasih kepada pohon itu.
Begitu jugalah jika tidaklah karena Alloh, manusia tidak akan wujud dan tidak akan ada mempunyai sifat-sifat langsung. Oleh karena itu, kenapa manusia itu tidak Cinta kepada Alloh? Jika tidak cinta kepada Alloh berarti ia tidak mengenalNya. Tanpa mengenalNya orang tidak akan Cinta kepadaNya, karena Cinta itu timbul dari pengenalan . Orang yang bodoh saja yang tidak mengenal.
Sebab yang kedua ialah, bahwa manusia itu cinta kepada orang yang menolong dan memberi kurnia kepada dirinya. Pada hakikatnya yang memberi pertolongan dan kurnia itu hanya Alloh saja. Sebenarnya apa saja pertolongan dan kurnia dari makhluk atau hamba itu adalah dorongan dari Alloh Subhanahuwaa Taala juga. Apa saja niat hati untuk membuat kebaikan kepada orang lain, sama ada keinginan untuk maju dalam bidang agama atau untuk mendapatkan nama yang baik, maka Alloh itulah pendorong yang menimbulkan niat, keinginan dan usaha untuk mencapai apa yang dicinta itu.
Sebab yang ketiga ialah cinta yang ditimbulkan dengan cara renungan atau tafakur tentang Sifat-sifat Alloh, Kuasa dan KebijaksanaanNya. Dan bermula Kekuasaan dan kebijaksanaan manusia itu adalah bayangan yang amat kecil dari Kekuasaan dan Kebijaksanaan Alloh Subhanahuwa Taala juga. Cinta ini adalah seperti cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di zaman dulu, misalnya Imam Malik dan Imam Syafie meskipun kita tidak akan menyangka menerima sebarang faedah pribadi dari mereka itu, dan dengan itu adalah jenis yang tidak mencari untung. Alloh berfirman kepada Nabi Daud,
“Hamba yang paling aku Cintai ialah mereka yang mencari Aku bukan karena takut hukumKu atau hendakkan KurniaanKu, tetapi adalah semata-mata karena Aku ini Tuhan.”
Dalam kitab Zabur ada tertulis,
“Siapakah yang lebih melanggar batas daripada orang yang menyembahKu karena takutkan Neraka atau berkehendakkan Syurga? Jika tidak aku jadikan Surga dan Neraka itu tidakkah Aku ini patut disembah?”
Sebab yang keempat berhubungan dengan cinta ini ialah karena keterikat yang erat antara manusia dan Tuhannya, yang maksudkan oleh Nabi dalam sabdanya :
“Sesungguhnya Alloh jadikan manusia menurut bayanganNya”
Selanjutnya Alloh berfirman;
“HambaKu mencari kehampiran denganKu, supaya Aku jadikan dia kawanKu, dan bila Aku jadikan ia kawanku, jadilah Aku telinganya, matanya dan lidahnya”.
Alloh berfirman juga kepada Nabi Musa;
“Aku sakit, engkau tidak mengungjungiKu.” Nabi Musa menjawab, “Aahai Tuhan, Engkau itu Tuhan langit dan bumi, bagaimana engkau boleh sakit?” Alloh menjawab, “Seorang hambaKu sakit, kalau engkau mengunjungi dia, maka engkau mengunjungi Aku.”
Ini adalah satu hal yang agak bahaya hendaklah dikaji lebih dalam karena ia tidak terjangkau oleh pengetahuan orang awam, bahkan yang bijak pandai pun mungkin tumbang dalam perjalanan hal ini, lalu menganggap ada penzhohiran atau penjelmaan Tuhan dalam manusia. Tambahan pula hal kemiripan hamba dengan Tuhan ini dibantah oleh Alim Ulama’ yang tersebut diatas dulu karena mereka berpendapat bahwa manusia itu tidak dapat mencintai Alloh oleh sebab Alloh bukan sejenis manusia. Walau pun berapa jauh jaraknya antara mereka, namun manusia boleh mencintai Alloh karena yang kemiripan itu ada ditunjukkan oleh sabda Nabi :
“Alloh jadikan manusia menurut rupanya.”
Dan kataku pula (suluk), untuk mendapat dan menjejaki maksud sabda Nabi yang penuh dan melimpah dengan lautan hikmah zhohir dan batin ini, perlulah diambil pengajaran dari kalangan ulama yang muqarrabin yang arifbiLlah dari kalangan Aulia Alloh yang apabila berbicara, hanya akan mengungkapkan sesuatu yang didatangi dari Alam Tinggi, bukan beralaskan sesuatu kepentingan atau pengaruh hawa nafsunya. Ilmu mereka adalah pencampakkan Ilham dari Alloh Taala yang didapati terus dari Alloh sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Ghazali dalam karyanya Al-Risalutul lil Duniyyah sebagaimana berikut;
Ilham adalah kesan Wahyu. Wahyu adalah penerangan Urusan Ghoibi manakala Ilham ialah pemaparannya. Ilmu yang didapati menerusi Ilham dinamakan Ilmu Laduni.
Ilmu Laduni ialah ilmu yang tidak ada perantaraan dalam mendapatkannya di antara jiwa dan Alloh Taala. Ia adalah seperti cahaya yang datang dari lampu Qhaib jatuh ke atas Qalbu yang bersih, kosong lagi halus (Lathif).
Semua orang Islam percaya bahwa memandang Alloh itu adalah puncak segala kebahagiaan karena ada tercatat dalam hukum. Tetapi bagi kebanyakan orang, ini adalah berbicara di mulut saja yang tidak menimbulkan rasa dalam hati. Sebenarnyalah begitu karena bagaimana orang dapat menyintai sesuatu jika ia tidak tahu dan tidak kenal? Kita akan coba menunjukkan secara ringkas bagaimana memandang Alloh itu puncak segala kebahagiaan yang bisa dicapai oleh manusia.
Pertama , tiap-tiap bakat atau anggota manusia itu ada tugas-tugasnya masing-masing dan ia merasa tertarik dan suka menjalankan tugas itu. Ini serupa saja sejak dari kehendak tubuh yang paling rendah hinggalah kepada pengetahuan akal yang paling tinggi. Usaha mental (otak) yang paling rendah pun mendatangkan ketertarikan yang lebih dari hanya memuaskan kehendak tubuh saja. Kadang-kadang seseorang yang khusuk bermain catur tidak mau makan meskipun ia berkali-kali dipanggil untuk makan.
Makin tinggi hal pengetahuan kita itu, maka makin bertambah menarik dan sukalah kita mengusahakan hal itu. Misalnya kita lebih berminat untuk mengetahui rahasia Sultan dan rahasia menteri. Dengan demikian, oleh karena Alloh itu adalah objek atau hal pengetahuan yang paling tinggi, maka mengenal atau mengetahui Alloh itu mestilah memberi kebahagiaan dan kelezatan lebih daripada yang lain-lain. Orang yang mengetahui dan mengenal Alloh walaupun dalam dunia ini. seolah-olah di dalam syurga, buah-buahan bebas untuk dipetik, dalam lebarnya tidak disempitkan oleh penghuninya yang ramai itu.
Firman Alloh SWT :
” Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa ” (Al Imran:133)
Tetapi kenikmatan ilmu atau pengetahuan masih tidak menyamai atau menyerupai kenikmatan pandangan sebagaimana ketertarikan kita dalam memikirkan mereka yang bercinta adalah lebih rendah daripada ketertarikan yang diberi oleh memandangnya dengan benar.
Terpenjaranya kita dalam tubuh kita dari tanah dan air dan terbelenggu kita dalam hal-hal indera (pancaindera) menjadikan hijab yang melindungi kita daripada memandang Alloh , meskipun tidak menghalang pencapaian kita kepada mengetahui dan mengenalNya. karena inilah Alloh berfirman kepada Nabi Musa di Gunung Sinai,
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (Al Araaf:143)
Hakikat hal ini adalah sebagaimana benih manusia itu menjadi manusia, dan biji tamar menjadi pohon tamar, begitu jugalah mengenal Alloh yang diperoleh di dunia ini akan bertukar menjadi “Memandang Alloh” di akhirat kelak, dan mereka yang tidak mempelajari pengetahuan itu tidak akan mendapat pandangan itu. Pandangan ini tidak akan dibagi-bagikan sama rata kepada mereka yang tahu tetapi “konsep pemahaman” mereka tentangnya akan berbeda-beda sebagaimana ilmu mereka.
Alloh itu Satu tetapi ia kelihatan dengan berbagai-bagai cara, sebagaimana satu benda itu terbayang dalam berbagai cara dalam berbagai cermin. Ada yang lurus, ada yang bengkok, ada yang terang dan ada yang gelap. Sesuatu cermin itu mungkin terlalu bengkok dan ini menjadikan bentuk-bentuk yang cantik kelihatan buruk dalam cermin itu. Seseorang manusia itu mungkin membawa ke akhirat hati yang gelap dan bengkok, dan dengan itu pandangan yang menjadi puncak kedamaian dan kebahagiaan kepada orang lain, akan menjadi sumber kesengsaraan dan kedukaan kepadanya.
Orang yang Menyintai Alloh sepenuh hati dan Cintanya kepada Alloh melebihi Cintanya kepada yang lain akan memperolehi lebih banyak kebahagiaan daripada pandangan melebihi daripada mereka yang dalam hatinya tidak ada pandangan ini. Umpama dua orang yang kekuatan matanya sama saja memandang kepada wajah yang cantik. Orang yang telah ada cintanya kepada orang yang memiliki wajah itu akan merasa tertarik dan bahagia memandang wajah itu melebihi dari orang yang tidak ada cintanya kepada orang yang mempunyai wajah itu.
Untuk kebahagiaan yang sempurna, ilmu saja tidak tidaklah cukup. Hendaklah disertakan dengan Cinta. Cinta kepada Alloh itu tidak akan tercapai selagi hati itu tidak dibersihkan daripada cinta kepada dunia. Pembersihan ini dapat dilakukan dengan menahan diri dari hawa nafsu yang rendah dan bersikap zuhud.
Semasa dalam dunia ini, keadaan seseorang itu terhadap “Memandang Alloh” adalah ibarat orang yang cinta yang melihat muka orang yang yang dicintai dalam waktu senja kala dan pakaiannya penuh dengan penyengat dan kalajengking yang senatiasa menggigitnya. Tetapi sekiranya matahari terbit dan menunjukkan muka yang dicintai dengan segala keindahannya, dan penyengat serta kala itu telah pergi darinya, maka kebahagiaan orang yang cinta itu adalah seperti hamba Alloh yang terlepas dari gelap senja dan azab cobaan di dunia ini, lalu melihat dia tanpa hijab lagi .
Abu Sulaiman berkata;
“Siapa yang sibuk dengan dirinya sendiri saja di dunia ini, akan sibuk juga dengan dirinya di akhirat kelak, dan siapa yang sibuk dengan Alloh di dunia ini akan sibuk juga dengan Alloh di akhirat kelak”.
Yahya bin Mu’adz menceritakan;
“Saya lihat Abu Yazid Bustomin sembahyang sepanjang malam. apabila beliau telah habis sembahyang, beliau berdoa dan berkata :
“Oh Tuhan!!! Setengah dari hambaMu meminta padaMu kuasa untuk membuat sesuatu yang luar biasa (karamat) seperti berjalan di atas air, terbang di udara, tetapi aku tidak meminta itu; ada pula yang meminta harta karun, tetapi aku tidak meminta itu,
kemudian ia memalingkan mukanya dan setelah dilihatnya saya, ia berkata; “Kamu di situ Yahya?” Saya menjawab; “Ya!” Beliau bertanya lagi; “Sejak kapan?” Saya menjawab; “Telah lama saya di sini” Kemudian saya bertanya dan beliau menceritakan kepada saya setengah daripada pengalaman keruhaniannya.
“Saya akan menceritakan” Jawab beliau. “Apa yang boleh saya ceritakan kepadamu, Alloh Subhahahuwa Taala menunjukkan aku kerajaanNya dari yang paling tinggi hingga ke paling rendah. DiangkatNya saya melampaui Arash dan Kursi dan tujuh petala langitnya, kemudian Ia (Alloh) berkata; “Pintalah kepadaKu apa saja yang engkau kehendaki”.
Saya menjawab; “Ya Alloh!!! tidak akan saya minta apa pun melainkan Engkau”.
JawabNya (Alloh) : “Sesungguhnya engkau hambaKu yang sebenar benarnya”.
Pada suatu ketika pula Abu Yazid berkata:
“Sekiranya Alloh mengkaruniakan engkau kemiripan denganNya seperti Ibrahim, kekuasaan Sholat Musa, keruhanian ‘Isa, namun wajahmu hadapkanlah kepada Dia saja karena ia ada harta yang melampaui segala-galanya itu”
Suatu hari seorang sahabatnya berkata kepada beliau; “Selama tiga puluh tahun saya puasa di siang hari dan sembahyang di malam hari tetapi saya tidak dapati kenikmatan keruhanian yang engkau katakan itu”.
Abu Yazid menjawab; “Jika engkau puasa dan sembahyang selama tiga ratus tahun pun, engkau tidak akan mendapatkannya”.
Sahabatnnya berkata; “Bagaimanakah itu?”
Kata Abu Yazid; “obatnya ada tetapi engkau tidak akan sanggup menelannya obat itu”. Tetapi oleh karena sahabatnya itu bersungguh-sungguh benar meminta supaya diceritakan, Abu Yazid pun berkata;
“Pergilah kepada tukang gunting dan cukurlah janggutmu itu; buanglah pakaianmu itu kecuali seluar dalam saja. Ambil satu kampit penuh yang berisi “Siapa yang mau menempeleng kuduk leherku dia akan mendapat buah ini” Kemudian dalam keadaan ini pergilah kepada Kadi dan ahli syariat dan berkata; “Berkatilah Ruhku”.
Kata sahabatnya; “Tidak sanggup saya berbuat demikian, berilah saya cara yang lain”.
Abu Yazid pun berkata; “Inilah saja caranya, tetapi seperti yang telah saya katakan kamu ini tidak dapat diobat lagi”.
Sebab Abu Yazid berkata demikian kepada orang itu ialah karena orang itu sebenarnya pencari pangkat dan kedudukan. Bercita-cita hendak pangkat dan kedudukan seperti bersikap sombong dan bangga adalah penyakit yang hanya dapat diobat dengan cara yang demikian itu.
Alloh berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kami lah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israel beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (Ash Shaff:14)
Apabila orang bertanya kepada Nabi ‘Isa; “Apakah kerja yang paling tinggi sekali derajatnya?” Beliau menjawab; “Mencintai Alloh dan tunduk kepadaNya”.
Suatu ketika orang bertanya kepada Wali Alloh bernama Rabi’atul Adawiyah sama ada beliau cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau menjawab; ” Cinta kepada Alloh menghalang aku cinta kepada makhluk”.
Ibrahim bin Adham dalam doanya berkata; “Ya Alloh! pada mataku syurga itu sendiri lebih kecil dari unggas jika dibandingkan dengan Cintaku terhadapMu dan kenikmatan mengingatiMu yang Engkau telah kurniakan kepadaku”.
Siapa yang menganggap ada kemungkinan menikmati kebahagiaan di akhirat tanpa mencintai Alloh adalah orang yang telah jauh sesat anggapannya, karena segala-galanya di akhirat itu adalah kembali kepada Alloh dan Alloh itulah alamat yang dituju dan dicapai setelah melalui halangan yang tidak terhingga banyaknya. Nikmat memandang Alloh itu adalah kebahagiaan. Jika seseorang itu tidak suka kepada Alloh di sini, maka di sana pun ia tidak suka juga kepada Alloh. Jika sedikit saja sukanya kepada Alloh di sini, maka sedikit jugalah sukanya kepada Alloh di sana . Pendeknya, kebahagiaan kita di akhirat adalah tergantung pada kadar Cintanya kita kepada Alloh di dunia ini.
Sebaliknya jika dalam hati manusia itu ada tumbuh cinta kepada apa saja yang berlawanan dengan Alloh, maka keadaan hidup di akhirat sana akan berlainan dan ganjil sekali kepadanya dan dengan ini apa saja yang mendatangkan kebahagiaan kepada orang lain, akan mendatangkan ‘azab sengsara kepadanya. Mudah-mudahan Alloh lindungi kita dari terjadi sedemikian itu.

Minggu, 20 November 2011

Amalan wanita yang dihargai sama dengan jihad


Amalan wanita yang dihargai sama dengan jihad

Penuturan Asma’ binti Yazid, bahwa ia pernah datang kepada Nabi saw., dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah utusan para wanita kepadamu… Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusmu kepada laki-laki dan wanita seluruhnya hingga kami mengimanimu dan Tuhanmu. Namun, sungguh kami (kaum wanita) terbatasi dan terkurung oleh dinding-dinding rumah kalian (para suami), memenuhi syahwat kalian, dan mengandung anak-anak kalian. Sesungguhnya kalian, wahai para lelaki, mempunyai kelebihan daripada kami dengan berkumpul dan berjamaah, berkunjung kepada orang sakit, menyaksikan jenazah, menunaikan ibadah haji, dan—yang lebih mulia lagi dari semua itu—jihad di jalan Allah… Lalu adakah kemungkinan bagi kami untuk bisa menyamai kalian dalam kebaikan, wahai Rasulullah?”

Rasulullah saw. lalu menoleh kepada wanita itu seraya bersabda, “Pergilah kepada wanita mana saja dan beritahulah mereka, bahwa kebaikan salah seorang di antara kalian dalam memperlakukan suaminya, mencari keridhaan suaminya dan mengikuti keinginannya adalah mengalahkan semua itu!”

Mendengar sabda Rasul itu, wanita itu pun pergi seraya bersuka-cita (HR al-Baihaqi).

Referensi: http://mutiarahaticenter.blogspot.com/2010/06/muthiah.html

Rabu, 20 Juli 2011

Hiburan Orang Mukmin


Hiburan Orang Mukmin

PRINSIP-PRINSIP RASULULLAH
SAW DALAM MENEMPUH
KEHIDUPAN

Ma’rifat adalah modalku, akal adalah asal-muasal agamaku, rasa cinta adalah alasanku, rindu adalah kendaraanku, dzikrullah adalah kesenanganku, percaya diri adalah perbendaraanku, sedih adalah rekanku, ilmu adalah senjataku, sabar adalah pakaianku, zuhud adalah pekerjaanku, ridha adalah keuntunganku, yakin adalah kekuatanku, kejujuran adalah penolongku, taat adalah kecintaanku, jihad adalah akhlakku, dan kebahagiaanku adalah shalat.”

 


MENGENAL ALLAH


            Pada satu ketika ada seorang bertanya kepada Abu Bakar Assiddiq Radhiallahu ‘anhu, “Wahai shahabi, bagaimana Anda dapat mengenal Robbmu?” Abu Bakar menjawab, “Aku mengenal Robbku dengan perantaraan Robbku. Kalau tidak karena Robbku, aku tidak akan mungkin mengenal-Nya.”
            Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana Anda mengenal Robbmu?” Abu Bakar menjawab, “Apa yang tidak mampu dicapai adalah suatu penyampaian, dan meneliti zat Allah adalah kemusyrikan.”


SESUATU YANG PALING MULIA


Dari ibnu Abbas Ra diriwayatkan, telah bersabda Rasulullah Saw:
-         Kimanan yang paling mulia ialah memberi keamanan kepada manusia dari    perangaimu;
-         Keislaman yang paling mulia ialah menyelamatkan manusia dari lidah dan tindakanmu;
-         Hijrah yang paling mulia ialah hijrah dari berbagagai keburukan;
-         Jihad yang paling mulia ialah menewaskan kudamu di medan jihad;
-         Juhud yang paling mulia adalah jika kalbumu bisa ditenangkan oleh rezeki yang diberikan kepadamu;
-         Permohonan yang paling mulia yang kamu panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla ialah memohon afiyat dalam agama dan dunia.


TANGAN YANG BERGANTUNGAN


Diriwayatkan oleh Al Hafizh Al Baihaqi dari Khabab bin Yasaf. Katanya, “Aku dan seorang dari kaumku datang menemuhi Rasulullah Saw dalam sebuah penyerbuannya. Lalu kami berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, kami ingin berperang bersama engkau.” Rasulullah bertanya, “Apakah kalian sudah islam?” Kami jawab, “Belum.” Rasulullah kemudian berkata, “Kami tidak minta bantuan orang musyrik dalam memerangi kaum musyrikin.” Lalu kami pun masuk islam dan berperang bersama beliau dalam sebuah peperangannya. Tiba-tiba aku terkena pukulan yang keras pada pundakku sehingga salasatu tanganku bergantungan dari persendiannya. Aku datang menemui Rasulullah, lalu beliau meludahi dan menyambung kembali tanganku yang bergelantungan itu, sehingga aku dapat membunuh orang yang telah memukulku.”


MEMBACA DAN BERPIKIR


            Pada suatu ketika Bilal bin Rabah Ra pergi ke masjid Rasulullah Saw untuk mengumandangkan adzan Fajar. Tiba-tiba ia menemukan Rasulullah sedang menangis tersendu-sendu di sana. melihat Rasulullah dalam keadaan demikian Bilal bertanya, “Apa yang membuat baginda sedih, ya Rasulullah?”
            Rasulullah menjawab, “Ya Bilal …, pada malam ini telah diturunkan sebuah ayat kepadaku. Celakalah orang-orang yang membacanya tapi tidak mau memikirkannya. Firman Allah Ta’ala itu ialah:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran 190)


BERSUJUD LAMA SEKALI


Pada suatu hari seorang shahabi yang mulia, Abdurrahman bin Auf Ra melihat Rasulullah Saw bersujud lama sekali di tengah-tengah kebun korma. Lalu Abdurrahman bin Auf berdiri menantikan sampai Rasulullah mengangkat kepalanya dari sujudnya, dan kemudian dia berkata, “Ya Rasulullah, engkau, bersujud lama sekali sehingga aku mengira Allah Ta’ala telah mencabut rohmu. Mengapa engkau melakukan hal yang demikian?”
Rasulullah Saw menjawab, “Ya Abdurrahman, Jibril telah datang kepadaku, lalu ia berkata, “Allah Assalam mengucapkan salam kepadamu, dan menyatakan juga,siapa yang bershalawat kepadamu, Aku akan bershalawat kepadanya.” Lalu aku bersujud atas syukurku kepada Allah.”


MEMENUHI PANGGILAN ALLAH


Seorang sahabat Ra, Abdullah bin Ummi Maktum (yang buta) datang menemui Rasulullah Saw seraya bertanya, “Ya Rasulullah, aku punya seorang penuntun yang kurang patuh kepadaku, sedangkan sepanjang jalan antara rumahku sampai masjid terdapat banyak pohonan dan duri-durian. Apakah aku diijinkan shalat di rumahku?”
Rasulullah ganti bertanya kepadanya, “Apakah kau mendengar panggilan adzan, ya Abdallah?” Abdallah menjawab, “Ya, saya mendengar, ya Rasulullah!”
“kalau begitu, ya Abdallah, sambutlah panggilan Allah itu dan shalatlah di masjid,” jawab Rasulullah tegas.


BUKAN WAJAH SEORANG PENDUSTA


Abdullah bin Salam adalah seorang berdarah yahudi yang tinggal di Madinah. Dia pernah berkata, “Ketika Rasulullah Saw memasuki kota Madinah Al Munawarah, aku mengamati wajahnya dengan sungguh-sungguh, dan setelah itu aku langsung mengucapkan syahadat. Aku bersaksi: “Tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah.”
Orang-orang Yahudi bertanya kepadaku, “Apa yang mendorongmu menyatakan keislaman itu, ya Ibna Salam?”
Aku menjawab kepada mereka, “Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, sungguh wajah itu bukan wajah seorang pendusta.”


TIDAK ADA YANG LAIN SESUDAH AL QUR’AN


Rasulullah Saw melihat sehelai dari Kitab Taurat di tangan Umar bin Khatthab Ra. lalu beliau bertanya, “Apa ini, ya Umar?”
Umar menjawab, “Ini lembaran dari Kitab Taurat, ya Rasulullah.”
Ternyata rasulullah Saw marah sekali seraya bertanya, “Apakah kalian ragu-ragu seperti halnya orang Yahudi dan Nasrani? Aku telah membawakan sesuatu yang putih bersih lagi murni untuk kalian. Kalau saudaraku Musa masih hidup, dia pasti akan mengikutiku!”


TIDAK INGIN KAYA KARENA TAKUT SOMBONG


Pada suatu hari Rasulullah Saw duduk-duduk bersama seorang fakir miskin, lalu datang seorang kaya menemuinya. Kebetulan ia tidak mendapat tempat lain, kecuali tempat di sebelah si fakir miskin yang masih kosong, namun kemudian ia menarik-narik ujung-ujung kainnya agar jangan sampai menyentuh pakaian dan badan orang fakir miskin itu. melihat tingkah laku yang demikian Rasulullah bertanya, “Kenapa kamu menarik ujung-ujung kainmu itu? apakah kamu khawatir kekayaanmu sampai menyentuh di fakir ini?”
Orang kaya itu benar-benar terpukul dengan teguran Rasulullah, lalu katanya dengan nada menyesal, “Ya Rasulullah, sebagai kifarat dosaku, aku akan memberikan setengah dari hartaku kepada orang fakir ini.”
Rasulullah Saw bertanya kepada di fakir, “Ya Abdallah, maukah engkau menerimah hibahnya?”
Namun si fakir menjawab, “Tidak, ya Rasulullah?”
Rasulullah bertanya dengan nada heran, “Mengapa?”
Dia menjawab, “Aku tidak ingin kaya, ya Rasulullah. Aku takut menjadi sombong kepada makhluk Allah seperti orang ini.”


KARENA KELUHURAN AKHLAK


Diriwayatkan, seorang lelaki bangsa Arab bernama Tsamamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah, pergi ke Madinah Al Munawarah dengan tujuan hendak membunuh Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam. Dengan tekad bulat dan semangat kuat ia pergi ke majelis Rasulullah Saw.
Umar bin Khattab sudah mencium maksud jahat kedatangan orang itu. maka dia pergi menghampirinya dan langsung mengusut, “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?!”
Orang itu dengan terang-terangan berkata, “Aku datang ke negeri ini hanya untuk membunuh Muhammad!!”
Mendengar perkataan keji itu Umar dengan cepat dan tangkas langsung melucuti pedangnya, sekaligus meringkusnya. Kemudian orang itu diikat di salah satu tiang masjid.
Umar bin Khattab segera pergi melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah. Namun Rasulullah Saw yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam tidak menaggapi positif perbuatan shahabatnya. Rasulullah cepat keluar dari rumahnya menemui orang yang hendak membunuhnya. Setelah tiba di tempat majelis, rasulullah mengamati wajah orang yang hendak membunuhnya itu, sementara Umar sudah tidak sabar menunggu perintahnya untuk memenggal leher orang durjana itu.
Sesudah mengamati wajahnya dengan cermat, Rasulullah lalu menoleh kepada para sahabatnya dan bertanya, “Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?”
Umar terdiam sejenak mendengar pertanyaan tersebut. Dia yang sejak tadi menunggu diperintah membunuhnya malah ditanya tentang makan kepada orang itu. Umar seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya, maka dia bertanya, “Makanan apa yang baginda maksudkan, ya Rasulullah? Makanan apa yang akan dia makan? Orang ini datang ke sini sebagai pembunuh, bukan datang ingin masuk Islam!” Namun Rasulullah Saw tidak menghiraukan ucapan Umar, bahkan beliau memerintahkan, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu!”
Umar bin Khattab bukan main marahnya dengan si musyrik itu. sesudah ia diberi minum, Rasulullah memerintahkan dengan sopan kepadanya, “Ucapkan “Tiada tuhan selain Allah.” Si musyrik menjawab, “Aku tidak akan menjawabnya.” Rasulullah berkata lagi, “Katakanlah: “aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah Rasul Allah.” namun orang itu tetap berkata dengan nada keras, “aku tidak akan mengatakannya!”
Rasulullah Saw kemudian memutuskan untuk membebaskan orang itu, dan orang musrik itupun bangkit dan pergi seolah-olah hendak kembali kenegerinya. Tetapi belum berapa jauh dia melangkah dari masjid, dia kembali lagi kepada Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi “Tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah.”
Rasulullah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau tidak mengucapkan ketika aku memerintahkan kepadamu?”
Orang itu menjawab, “Aku tidak mau mengucapkan ketika masih belum kau bebaskan karena aku khawatir ada orang yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Akan tetapi, setelah aku dibebeskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Rabbul ‘alamin.”
Pada satu kesempatan Tsamamah bin Itsal berkata, “ketika aku memasuki kota Madinah, tidak seorang pun yang paling aku benci lebih dari Muhammad. Tetapi sesudah aku meninggalkan kota ini, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah.”

 

SEMUA KENIKMATAN AKAN DIPERTANGGUNGJAWABKAN


Pada suatu hari ketika matahari sedang terik-teriknya, Rasulullah berjalan di luar karena di rumahnya sedang tidak ada makanan. Tiba-tiba Rasulullah melihat Abu Bakar Assidiq sedang berada di jalan itu pula. Rasulullah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau keluar di siang hari seterik ini?”
Abu Bakar menjawab, “Karena perut ini sedang lapar benar, ya Rasulullah.”
Kemudian keduanya pergi hingga mereka berjumpa dengan Umar bin Khattab yang juga sedang berada di jalan. Rasulullah lalu bertanya kepadanya, “Kenapa engkau keluar di siang sepanas ini, ya Umar?”
Umar bin Khattab menjawab, “Aku sedang lapar sekali, ya Rasulullah.” Tiba-tiba Abu Bakar dan Umar ganti bertanya kepadanya, “Dan engkau, ya Rasulullah, kenapa engkau pun keluar di panas hari seperti ini?”
Rasulullah menjawab, “Aku juga sama dengan kalian berdua. Perutku terasa lapar sekali.”
Akhirnya ketiganya memutuskan untuk pergi ke rumah Abu Ayyub Al Anshari. Ternyata di rumah itu mereka mendapat makanan dan minuman yang meringatkan rasa lapar  dan haus. Sesudah semua selesai, rRasulullah meletakkan gelas minumannya agak jauh dari mulutnyam, seraya berucap sambil mengamatinya:

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan dunia itu) (At Takatsur 8) 

 

TELADAN YANG SHALEH


Pada suatu hari Rasulullah Saw pergi dalam sebuah perjalanan jauh bersama para sahabatnya. Di tengah perjalanan mereka beristirahat dulu dan mendirikan kemah di padang pasir. Kebetulan mereka membawa seekor domba. Maka salah seorang sahabat berkata, “Aku akan memotong domba itu.” Sedang yang lain berkata pula, “Aku yang akan mengulitinya,” dan sahabat yang lain lagi berkata, “Aku yang akan memasaknya nanti.” Lalu Rasulullah berkata, “Dan Aku yang akan mencari kayu bakarnya.”
Para sahabat terperanjat dengan ucapan beliau. Mereka segera berkata, “Tidak usah ya Rasulullah, biar kami saja yang melakukan semuanya. Baginda beristirahat saja sampai masakan ini selesai.”
Rasulullah kemudian besabda kepada mereka semua, “Demi Allah, aku tidak akan tinggal diam sementara kalian semua bekerja. Allah membencinya hamba-Nya yang mengistimewakan dirinya dari saudara-saudaranya.” Setelah mengucapkan sabda-nya beliau pergi mencari dan memanggul sendiri kayu bakar yang didapatkan.

 

HIKMAH DAN KELEMBUTAN


Pada suatu hari seorang pemuda yang sedang dalam keadaan darah mudanya bergelora datang menemui Rasulullah Saw. tiba-tiba ia berkata, “Ya Rasulullah, ijinkanlah aku melakukan perzinaan!”
Para sahabat tentu saja amat marah mendengar kelancangan anak muda itu. namun Rasulullah Saw menghadapinya dengan tenang dan bijaksana. Beliau minta kepada semua yang hadir di majelis itu upaya tenang. Kemudian beliau meminta kepada anak muda itu agar maju mendekatinya. Beliau menghadapinya seperti seorang guru menghadapi muridnya, atau seperti seorang dokter menghadapi pasiennya.
Kemudian Rasulullah Saw bertanya kepadanya, “Wahai anak muda, apa yang kau inginkan?”
Pemuda itu menjawab dengan perkataan yang sama, “Ya Rasulullah, ijinkanlah aku melakukan perzinaan…!”
Rasulullah tidak mengiyakan dan juga tidak melarang keras tindakannya, tetapi beliau bertanya kepadanya, “Wahai anak muda, sukakah kamu kalau perbuatan itu terjadi pada ibumu?”
Si pemuda terhentak dan menjawab tegas, “Tentu tidak, ya Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu senang bila perbuatan itu dilakukan oleh saudara perempuanmu?”
Pemuda itu menjawab lagi, “Tidak, ya Rasulullah.”
Sekali lagi Rasulullah bertanya dengan lembut, “Atau apakah kamu ridho bila perbuatan itu terjadi atau dilakukan oleh saudari ibu atau saudari ayahmu?”
Pemuda itu diam, tertunduk sejenak, dan kemudian dia berkata kepada Rasulullah dengan perasaan sedih dan menyesal, “Ya Rasululla, do’akanlah aku…” Maka Rasulullah Saw langsung mendo’akannya. Ucapnya:

“Ya Allah, lindungilah farjinya, sucikan kalbunya, dan ampunilah dosanya.”

Pemuda itu berkata, “Ketika aku keluar dari majelis itu, rasanya tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih aku cintai lebih dari cintaku kepada Rasulullah Saw.”

 

HIKMAH BIJAKSANA DALAM WAKTU MARAH


Ketika Rasulullah Saw sedang duduk-duduk di tengah-tengah para sahabatnya, salah seorang pastor Yahudi bernama Zaid bin San’nah masuk menerobos barisan Jama’ah yang melingkarinya, seraya menyambar kain Rasulullah dan menghardiknya dengan kasar. Katanya, “Ya Muhammad! Bayarlah hutangmu. Kamu keturunan Bani Hasyim biasa memperlambat pelunasan hutang.!”
Pada waktu itu Rasulullah memang punya hutang kepada orang Yahudi itu, namun belum jatuh tempo. Umar yang melihat peristiwa itu langsung bangkit dan menghunus pedangnya, seraya memohon ijin. Ucapnya, “Ya Rasulullah, ijinkanlah aku memenggal leher si bedebah ini!”
Tetapi Rasulullah Saw bersabda, “Ya Umar, aku tidak disuruh berdakwah dengan cara begitu. Antara aku dan dia memang sedang membutuhkan kebijaksanaanmu. Suruhlah dia menagih dengan sopan dan ingatkanlah aku supaya melunasinya dengan baik.”
Mendengar sabda Rasulullah Saw tersebut, orang Yahudi berkata, “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran. Sebenarnya aku tidak datang untuk menagih hutangmu, namun aku datang untuk menguji akhlakmu. Aku tahu, tempo pelunasan hutang itu belum tiba waktunya. Akan tetapi aku telah membaca sifat-sifatmu dalam Kitab Taurat, dan ternyata terbukti semua, kecuali satu sifat yang belum aku uji, yaitu tentang kebijakanmu bertindak pada waktu marah. Ternyata tindakan bodoh yang ceroboh sekalipun engkau dapat mengatasinya dengan bijaksana. Itulah yang aku lihat sekarang ini. Maka terimalah Islamku ini, ya Rasulullah:

“Adapun hutangmu, aku sedekahkan kepada para fakir miskin kaum muslimin.”


ADIL TERHADAP PARA ISTERI


Pada suatu hari Rasulullah Saw memberikan uang sedirham kepada isterinya, Aisyah Ra. rupanya Aisyah ingin lebih dari sekedar uang. Maka dia berkaata, “Ya rasulullah, aku ingin sekali engkau memberitahukan di hadapan semua isterimu bahwa aku adalah isteri yang paling kau sayangi.”
Rasulullah Saw lalu memerintahkan Aisyah supaya mengundang isteri-isterinya untuk berkumpul, padahal pada waktu itu beliau sudah mendatangi semua isterinya dan masing-masing diberi oleh beliau uang sedirham.
Sesudah semua isteri dikumpulkan, Aisyah yakin Nabi Saw akan menyatakan di hadapan mereka bahwa dirinya adalah satu-satunya isterinya yang paling dikasihinya.
Lalu Rasulullah bertanya kepada mereka, “Siapa yang telah aku beri uang sedirham…?”
Aisyah cepat-cepat mengacungkan tangan dengan memperlihatkan uang dirham itu. tetapi setelah ia menoleh ke kiri ke kanan ia melihat para isteri yang lainpun semua juga mengacungkan dengan uang dirham di tangan masing-masing. Melihat reaksi Aisyah demikian, Rasulullah dan para isterinya tertawa gembira, sedang Aisyah hanya bisa tersenyum kecut karena hasratnya tidak tercapai.

 

MUSTARIH DAN MUSTARAH


Pada suatu hari serombongan orang yang tengah mengiringi jenazah lewat di hadapan Rasulullah Saw. lalu beliau bertanya, “Jenazah siapa itu, mustarih atau mustarah?”
Para sahabat bertanya, “Apa maksud baginda?”
Rasulullah menjelaskan, “Sesungguhnya jika orang mukmin yang meninggal, maka mayitnya akan mustarih (puas hati) meninggalkan kesengsaraan kehidupan dunia ini. Tapi sebaliknya, jika mayit itu orang yang fasik (jahat), maka semua makhluk Allah yang akan mustarah (puas hati) karena kematiannya itu.”

 

PERCIKAN DARI KENABIAN


Raja Parsi memerintahkan kepada dutanya di Yaman. Ucapnya, “Aku mendengar ada seorang Arab yang mengaku seorang nabi. Nama orang itu adalah Muhammad. Aku ingin kau menangkap dan membawanya kemari, baik dalam keadaan hidup atau mati!”
Duta Besar Parsi itu kemudian mengirimkan dua orang utusannya (dari negeri Yaman) untuk mengetahui orang yang dimaksud rajanya. Maka keduanya pun pergilah menemui Rasulullah Saw. mereka memberitahukan kepada Rasulullah maksud kedatangannya. Tapi beliau menyuruh mereka pergi dan supaya besok pagi datang kembali menemuinya.
Keesokan harinya kedua orang utusan itupun datang kembali. Lalu Rasulullah bersabda kepada mereka, “Allah Ta’ala telah menewaskan Kisra, rajadiraja Parsi. Ia dibunuh oleh puteranya sendiri.” Dan ternyata ucapan Rasulullah itu benar-benar terbukti.

 

MULUT YANG MULIA


Seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Amru bin Ash Ra yang selalu mengikuti semua perilaku dan menulis kata-kata Rasulullah, pada suatu hari bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah, engkau sebagai manusia bisa senang dan bisa marah. Apakah aku boleh menulis perkataan yang keluar dari baginda pada waktu marah?”
Rasulullah menjawab, “Ya Abdallah, tulislah segala sesuatu (lalu baginda menunjukan pada mulutnya seraya bersabda): “Demi yang diriku dalam genggaman-Nya, tidak keluar dari mulutku ini melainkan semua yang benar!?

 

BERKAH SEORANG WANITA MUSLIMAH


Di jaman Rasulullah Saw ada seorang wanita Yahudi yang masuk Islam, dan ternyata Islamnya baik sekali sampai dia menemui ajalnya.
Kedua orang tuanya datang menemui Rasulullah Saw dan bertanya kepada beliau, “Ya Muhammad, kami ingin tahu benar, apakah puteriku di surga atau di neraka?”
Rasulullah Saw memohon kepada Allah Swt supaya diberi jawaban atas pertanyaan kedua orang tua itu. kemudian beliau mengajak mereka pergi ke kuburan puterinya, seraya berseru: “Ya Fulannah! Jawablah pertanyaan kedua orang tuamu ini!”
Kemudian dari dalam kubur itu terdengar suara, “Ya Rasulullah, aku tidak dapat menjawab pertanyaan selama mereka masih beragama Yahudi.”
Rasulullah bertanya kepada ahli kubur itu, “Mengapa?”
Dia menjawab, “Ya Rasulullah, karena aku lebih senang tinggal bersama Robbku daripada bersama orang tuaku.”
Maka sejak itu pula kedua orang tua itupun mengucapkan kalimat syahadat dan masuk Islam.

 

PERTANYAAN DI ALAM KUBUR


Pada waktu Ibrahim, putera Rasulullah Saw sedang naza’ di pangkuan ibunya, dalam usia 16 bulan, Rasulullah Saw terlihat sedih sekali. ia berkata, “Ya Ibrahim, aku tidak memiliki kekuasaan apapun dari kehendak Allah.” Tak lama kemudian Ibrahim menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan perasaan duka Rasulullah membawa sendiri ke pemakamannya yang terakhir, dan beliau berkata, “Ya Ibrahim, apabila malaikat datang kepadamu, katakanlah kepada mereka: “Allah Robbku dan Rasulullah ayahku, dan Islam agamaku.”
Tiba-tiba Umar bin Khattab yang berada di belakang Rasulullah menangis tersedu-sedu dengan sedihnya yang membuat Rasulullah bertanya kepadanya, “mengapa engkau menangis ya Umar?” Umar Ra menjawab, “Ya Rasulullah, putramu itu belum akil baligh dan amalnya belum dicatat sehingga dia tidak perlu divacakan talkin. Lalu bagaimana dengan Ibnul Khatthab ini yang sudah akil baligh dan sudah dicatat amal perbuatannya oleh malaikat, padahal dia tidak akan menemukan juru talkim seperti engkau, ya Rasulullah?!!”
Ternyata kegundahan hati Umar itu Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang memberikan jawabannya dengan firman-Nya:

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim 27)

 

TATKALA BILAL MENGHADAPI MAUT


Seorang sahabat Nabi Saw yang terkenal, Bilal bin Rabah Ra yang tersohor sebagai Muadzinur Rasul (juru adzan Rasulullah), ketika sedang menghadapi maut, istrinya berkata, “Aduhai, musibah apa yang menimpah rumah tangga kami ini?!?” Ketika Bilal mendengar ucapan isterinya itu, dia langsung berkata, “wahai isteriku, aku tidak bertanggung jawab atas ucapanmu itu! katakanlah: “Alangkah bahagianya suamiku ini. Dia akan segera menemui kekasihnya Nabi Muhammad dan para sahabatnya.”

 

KUNJUNGAN PERPISAHAN


Pada saat Rasulullah menderita sakit (yang terakhir) dan masih terbaring di tempat tidurnya, beliau didatangi oleh serombongan sahabat yang menjenguknya di bawah pimpinan Abdullah bin Mas’ud Ra. rupanya kedatangan ini merupakan kunjungan perpisahan.
Ketika kedua mata Rasulullah Saw bertatapan dengan mata Abdullah bin Mas’ud dan para sahabatnya yang lain, beliau langsung menyambut mereka dengan ramah sekali, sambutnya: “Marhaban bikum, Hayyakumullah, wanafa’akumullah, wa sabdadakumullah. Allah telah memerintahkan kepadaku dan kepada kamu sekalian supaya senantiasa bertaqwa kepada-Nya, dan supaya kita tidak menyombongkan diri kepada-Nya di bumi-Nya ini dan juga terhadap makhluk-Nya. Dia berfirman kepadaku dan kepada kalian:

“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan bertaubat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.”(Al Qashash 83)

Perbincangan terakhir berlanjut antara Rasulullah Saw dengan Abdullah bin Mas’ud.

Abdullah        : Ya Rasulullah, kapan ajal itu akan tiba kepadamu?
Rasulullah    : Ya Ibna Mas’ud, hari kepergian itu sudah dekat…
Abdullah        : Lalu siapa yang akan memandikan engkau, ya Rasulullah?
Rasulullah     : Keluarga yang dekat dan yang terdekat bersama para malaikat yang
  melihatmu meskipun kamu tidak melihat mereka.
Abdullah        : Siapa yang bershalat kepada engkau, ya rasulullah?
Rasulullah     : Kalau kamu sudah memandikan dan mengkafaniku,
tinggalkanlahaku di mulut kuburku barang sejenak, karena zat pertama yangakan menshalatiku adalah kekasihku, Allah Rabbul ‘alamin. Sesudah itu kedua teman dudukku, Jibril dan Mikail, lalu malaikatul maut, Izrail. Barulah setelah itu silahkan kalian semua bershalat kepadaku, baik berjama’ah maupun sendiri-sendiri. Aku mohon kepada semua yang hadir di sini untuk menyampaikan salam mesraku kepada semua sahabatku yang hadir, dan sampaikan juga salamku kepada semua orang yang mengucapkan “Laa ilaaha Illallah…”

Shalawat dan salam kami panjatkan kepadamu, ya Rasulullah. Akhirnya kematian itupun tiba. Pada saat itu tidak ada seorang pun yang berada di sisi Rasulullah Saw selain puteri tersayangnya, fatimah Ra. ia memandang ayahnya dan mengusap wajah yang mulia itu dengan air dingin, sementara Rasulullah berdoa dengan nada lirih:

“Ya Allah, ringankan untukku mabuknya kematian…”

Kesedihan semakin mencekam fatimah Ra. tidak terasa air mata terus bergulir di pipinya. Ia berkata, “Ya Ayah, kami merasa menderita dengan penderitaanmu.” Tetapi Rasulullah segera menjawab lembut, “Wahai anakku, Fatimah, janganlah kau berduka, sesudah ini tidak ada lagi penderitaan yang akan mengenai ayahmu.” Setelah itu beliau menyerahkan rohnya kembali kepada Penciptanya. Shalawat dan salam kami panjatkan untukmu, ya Rasulullah, mengiringi kepergian dan menyertai perjalananmu…”

 

SEDIHNYA PERPISAHAN

 

            Pada suatu hari Umar bin khattab Ra berdiri di depan kuburan Rasulullah Saw dengan tapekur sedih memandangnya. Air mukanya terlihat betapa kesedihan yang mendalam. Lalu dia berkata dengan suara tersendat, “Assalamu ‘alaika, ya Rasulullah! Dahulu engkau berpidato kepada kami di bawah pohan kurma. Sesudah kami membuat mimbar untukmu, engkau pergi menigalkan pohon itu. tiba-tiba kami mendengar rintihan dan sedu-sedunnya, seperti sedu sedan seorang ibu ditinggal pergi puteranya. Ya Rasulullah, kalau pohon kurma itu merintih karena ditigal pergi olehmu, bagaimana dengan kami yang telah ditinggal pergi olehmu??!

 

 

MANUSIA YANG PALING PEMURAH


            Pada suatu hari datang seorang pengemis kepada Rasulullah Saw. dia tatang hendak meminta sesuatu dari beliau. Ternyata kebetulan saat itu Rasulullah tidak memiliki sesuatu apapun yang bisa disedekahkan kepada orang itu, sedangkan beliau tidak bisa menolak permohonan seseorang. Maka beliau berkata kepada pengemis itu, “Wahai saudaraku seislam, belilah apa yang engkau inginkan, dan katakan kepada penjualnya, Muhammad yang akan menanggung pembayarannya.”
            Mendengar perkataan beliau, seorang sahabat sok tahu berkata, “Ya Rasulullah, kepada engkau memaksakan diri benar?!”
            Rasulullah Saw marah sekali mendengar teguran sahabatnya itu. para sahabat melihat tanda kemarahannya pada wajahnya. Namun Abu Bakar Assiddiq Ra cepat-cepat mengatasi keadaan. Katanya, “Ya Rasulullah, sedekahlah sebanyak-banyaknya, jangan khawatir, Rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan pernah habis…”
            Medengar penuturan sahabatnya yang mulia itu, Rasulullah lansung tersenyum puas dan cerah.

 

SEMUA PINTU SURGA UNTUK

SEORANG BERPERANGAI BAIK


            Pada suatu hari sesudah shalat Zhuhur bersama para sahabatnya Ra, Rasulullah Saw bertanya kepada mereka, “Siapa di antara kalian yang berpuasa pada hari ini?” Abu Bakar Assiddiq menjawab, “Saya, ya Rasulullah.”
            Lalu beliau Saw bertanya lagi, “Siapa di antara kalia yang bersedekah kepada orang miskin pada hari ini?”
            “Saya, ya Rasulullah,” Abu Bakar Ra menjawab lagi.
            “Siapa di antara kalian yang mengantarkan jenazah pada hari ini?”
            Masih jawaban Abu Bakar, “Saya, ya Rasulullah!”
            Untuk yang sekian kalinya Rasulullah masih bertanya, “Siapa di antara kalian yang mendamaikan dua orang (yangberselisih) pada hari ini?”
            Abu Bakar menjawab lagi, “Saya, ya Rasulullah.”
            Maka Rasulullah Saw bersabda: “Tdak seorang mukmin pun yang melakukan perangai yang baik seperti itu, melainkan ia kelak akan dipanggil dari semua pintu surga, “Ya Fulan, mari masuk…”
            Abu Bakar Ra bertanya, “Bagaimana kalau semuanya dikerjakan, ya Rasulullah?”
            Rasulullah Saw menjawab, “Kalau semua pintu surga memanggil umatku, tentu engkaulah orang pertama yang akan memasukinya, ya Abu Bakar…!”


ZUHUDNYA AL FARUQ, UMAR BIN KHATTAB


            Abdullah bin Umar Ra berkata, “Pada suatu hari ayahku (Umar bin Khattab) keluar mininjau kebun kurma. Setibah di dalam kota (Madinah), beliau melihat orang-orang sudah selesai shalat Ashar. Melihat para sahabatnya telah selesai shalat berjamaah Ashar, Umar sangat menyesali diri. Dia berkata, “Innaa lillahi wa innaa alaihi raji’un…, aku terlambat shalat Ashar berjama’ah lantaran kebun kurma. Ya Allah, saksikanlah, kebun kurmaku aku sedekahkan kepada para fakir miskin sebagai kifarat atas kealpaan yang telah kulakukan…”

 

PERTUNJUKAN MENARIK DI

DEPAN PINTU RUMAH RASULULLAH SAW


Pada suatu hari Abu Bakar Assiddiq Ra dan Ali bin thalib Radhiallahu `Anhuma pergi berkunjung ke rumah Rasulullah Saw. Setiba keduannya di depan pintu rumah Nabi, satu sama lain saling mendorong rekannya untuk masuk terlebih dahulu.

Abu Bakar  : Majulah kau, ya ali!

Ali                 : Mana mungkin atau akan mendahuluimu, ya Abu Bakar, sedang Rasulullah sendiri pernah bersabda tentang engkau: “Belum pernah matahari terbit atau teebenam atas seseorang sesudah para nabi, lebih utama dari Abu Bakar.”

Abu Bakar  : Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Abu bakar, sedang Rasulullah juga pernah bersabda: “Aku telah menikahkan wanita terbaik kepada lelaki terbaik, aku nikahkan putriku Fatimah dengan Ali bin thalib.”

Ali                 : Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Abu Bakar, sedang Nabi Saw pernah bersabda: “Kalau iman umat ini ditimbang umat ini ditimbang dengan iman Abu Bakar, tentu akan lebih berat timbangan iman Abu Bakar.”

Abu Bakar :  Mana mungkin aku akan mendahulukanmu, ya Ali, sedang Rasulullah Saw pernah bersabdatentang engkau: “dipukulkan ali bin Abi Thalib di Mahsyar di hari kiamat kelak berkendaraan bersama dengan Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain, lalu orang-orang bertanya-tanya, “Nabi siapa gerakan itu?” lalu orang yang menjawab, “Ia bukan Nabi, tetapi ali bin thalib dan keluarganya.”

Ali                : Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Abu Bakar, sedang Rasulullah Saw pernah bersabda tentang engkau: “kalau aku harus menpunyai kekasih selain dari Robbku, tentu aku akan memilih Abu bakar sebagai kekasihku.”

Abu bakar : Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Ali, sedang Rasulullah saw pernah bersabda: “Pada hari kiamat aku bersama Ali, lalu Allah berfirman kepadaku: “Wahai kekasihku, aku telah pilihkan untukmu, Ibrahim Al khalil sebagai ayah terbaikmu, dan Aku telah pilihkan untukmu Ali sebagai saudara dan sahabat terbaikmu.”

Ali                : Mana mungkin aku akan mendahuluinya, ya Abu bakar, sedang Allah Ta’ala pernah berfirman tentang engkau: “dan orang yang datang membawa kebenaran dan orang yang membenarkannya, mereka itu adalah orang-orang yang bertaqwa.” (Azzumar: 33)

Abu Bakar : Mana mungkin aku akan mendahuluhkan engkau, ya Ali, sedang Allah Ta’ala juga telah mengisyaratkan tentang engkau dalam firman-Nya: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah: dan Allah maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Al Baqarah: 207)  

Pada waktu keduanya sedang asyik memperbincangkan keutamaan rekannya, malaikat Jibril Alahissalam datang berkunjung kepada Rasulullah saw, secara berkata, “Ya Rasulullah, di luar sana ada Abu Bakar dan Ali hendak menemuimu. Pergilah, songsong keduanya…..”
Maka Rasulullah Saw segera bangkit dari duduknya, menyambut mesra dan mempersilakan masuk kedua sahabatnya yang mulia itu. beliau saw menempatkan Abu Bakar di sebelah kanannya dan Ali di sebelah kirinya, seraya berkata kepada mereka, “Demikianlah kami kelak dibangkitkan di hari kiamat.”

 

SAAT MENJELANG KEMATIAN

 ABU BAKAR

Ketika menjelang kematian Abu Bakar Ra, Aisyah, puterinya bertanya kepadanya, “ya ayah, apakah perlu saya panggilkan tabib?”
Tetapi Abu bakar menjawab, “tidak usah anakku, aku sudah menemui Tabib itu, Aisyah.” (Tabib yang dimaksud adalah Allah. red.)
“Apa kata Tabib ayah itu?” Tanya Aisyah dengan wajah duka. “Dia berkata kepadaku: “Aku akan melakukan apa yang Aku kehendaki (Anaa Fa’aalun limaa uried).”
Aisyah memahami pertanyaan ayahnya, maka selanjudnya dia bertanya lagi, “Dengan apa aku mengkafankanmu , ayah?”
“Ya Aisyah, anakku,” ucap Abu Bakar perlahan, “Kafanilah aku dalam tsaubku ini yang pernah kupakai untuk bershalat di belakang Rasulullah Saw.”
“Tetapi bukankah kain itu sudah usang ayah,” kata Aisyah mengingatkan ayahnya, “Bagaimana kalau kuberikan yang baru saja?”
namun abu Bakar cepat menjawab sambil menggeleng, “Jangan anakku, yang baru lebih layak dipakai orang yang masih hidup daripada oleh orang mati.”


PENYESALAN AMIRUL MUKMININ

Pada suatu malam yang hening dan sangat dingin, tatkala amirul Mukminin, Umar bin Khatthab ra sedang jaga malam (berkeliling ke pelosok-pelosok), dia melihat sepeti ada sebuah api unggun di tengah padang pasir. Beliau segera pergi dengan ditemani Abdurrahman bin Auf untuk melihat dari dekat. Ternyata setelah tibah disana bukan api unggun, tetapi seorang ibu yang seola-olah sedang memasak makanan untuk nak-anaknya yang terus merengek karena lapar. Anak-anak ibu itu terus menangis tidak mau tidur karena tidak kuat menahan rasa lapar.
Umar lalu mendekati dan mengucapkan salam, kemudian bertanya kepada ibu yang miskin itu, “Mengapa engkau melakukan ini (pura-pura memasak) kepada anak-anakmu?” Tetapi ibu itu hanya menjawab, “Semoga Allah menyadarkan Umar. Pantaskah seorang menjadi Amirul Mukminin tetapi ia tidak tahu keadaan rakyatnya?!”.
Mendengar perkataan itu Umar amat tersentak. Ia menunduk amat sedih. Dengan kedukaan yang amat mendalam ia segera pergi ke Baitulmal. Sepanjang perjalanan ia menangis beristigfhar sebagai Amirul Mukminin. Sepanjang jalan ia berdo’a dan memohon ampun kepada Allah Swt atas kelalaiannya sampai tidak mengetahui semua keadaan rakyatnya.
Sesampai di Baitulmal, umar segera membuka pintu dan mengambil sekarung gandum, sewadah minyak goreng dan madu. Ia panggul sendiri bahan-bahan makanan itu.
Penjaga Baitulmal semakin tertegun, dia berkata, “biarlah, aku saja yang akan membawahnya, wahai Amirul Mukminin.” Namun Umar menjawab perkataan itu dengan nada agak keras, “Apakah engkau mau aku menanggung dosa lebih banyak lagi?!”
Dibawahnya sendiri  barang-barang itu oleh Umar Ra dengan langkah cepat. Sesampai di tempat ibu yang miskin itu Umar meletakkan bahan-bahan makanan tersebut, bahkan ia yang mengelolah dan memasak makanan senderi.
Setelah datang, Umar menyuapi anak-anak yatim itu hingga mereka kenyang dan tidak menangis lagi. Umar amat lega menyaksikan anak-anak itu akhirnya terbebas dari kelaparan. Setelah itu barulah dia bangkit hendak pergi meninggalkan tempat tersebut.
Ibu dari tiga anak-anak yatim itu berkata kepada Umar, “demi Allah, engkau lebih pantas menjadi Khalifah daripada Umar.”
Sebelum pergi meninggalkan mereka, Umar berpesan kepada ibu itu, “Wahai ibu, datanglah besok ketempat kekhalifahan Umar, dan adukanlah hal ihwalmu kepanya…”
Tatkala Umar yang ditemani Abdurrahman bin Auf hendak pergi, Umar diam sejenak dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. dia mengamati ketiga anak itu makan dengan lahapnya. Karena udara yang begitu dingin hingga menusuk tulang, Abdurrahman mengajaknya untuk pulang. Tetapi Umar tidak bergeming dari tempatnya. Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku lihat anak-anak itu tertawa dan bergembira!”
Keesokan harinya, ibu anak-anak itu datang ke kekhalifahan. Tatkala memasuki ruang kekhalifahan ia amat terkejut melihat telaki yang memanggul karung bahan makanan semalam duduk di tengah-tengah Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud Ra. keduanya menyapanya dengan panggilan, “Ya Amirul Mukminin!”
Ketika tahu bahwa ternyata orang yang semalam itu adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattab sendiri, si ibu tertegun dan amat ketakutan karena khawatir keluh kesah dan serangannya akan dipersalahkan. Tetapi Umar segara menghiburnya, dia berkata dengan ramah, “Wahai ibu, jangan bersedih hati dan khawatir. Berapa ibu ingin menjual keluh kesah kepadaku?”
Namun ibu itu tidak menjawab pertanyaan Umar, ia berkata dengan nada ketakutan, “Aku mohon ma’af, yang amirul Muslimin.”
Umar berkata lagi, “Engkau tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menjual keluh kesahmu kepadaku….”
Akhirnya transaksi usai, umar berkata, “ Kalau aku meninggal dunia, masukkanlah kertas itu dalam kafanku sehingga aku menemui Allah Ta’ala dengan kalbu yang sehat dari kezaliman.”


UMAR MENERIMA KUNCI
MASJID AQSHA

Pada tahun 15 Hijriah, panglima komadan pasukan Islam mengirim surat kepada walikota Al Quds agar menyerahkan kunci kota suci itu kepadanya. Namun walikota itu menolak menyerahkannya. Ia sebagai walikota dan sebagai kepala agama, Pastor Shaqrius, menyatakan akan menyerahkan kunci kota itu kepada seorang yang sefat-sifatnya tercantum dalam kitab suci mereka.
Akhirnya para komandan pasukan Islam, Amru bin ash, Sharhabil bin Hasanah, dan Abu Ubaidah memberitaukan hal itu kepada khalifah Umar bin Khattab Ra memohaon agar beliau mau datang dan menerima kunci kota tersebut sehingga tidak terjadi peperangan yang menelan korban lebih besar lagi.
Mendengar berita itu dari para komandan pasukannya, Khalifah Umar bin Khattab lansung pergi bersama dengan seorang khadamnya menuju ke perbatasan negeri Syam. Dalam perjalanan itu Khalifah Umar menugang seekor kuda bergantian dengan khadamnya. Sebentar Umar yang mengedarainya, sebentar kemudian khadamnya, dan sebentar lagi keduanya berjalan kaki untuk memberi kesempatan kepada tunggangannya untuk beritirahat dari beban perjalanan dan muatan.
Ketika kudanya memasuki perbatasan negeri Syam, Abu Ubaidah dan Amir bin EI Jarrah yang menyambungnya berharap pada waktu memasuki kota Al Quds, giliran menugang kuda jatuh pada Umar, bukan pada khadamnya. Ini tidak seperti yang diharapkan pada komandan. Khalifah Umar memasuki kota Al Quds dengan berjalan kaki, sedang khadamnya di atas kudanya. Umar Ra menutun kudanya dengan penuh kesederahanaan. Para komandan bawahannya melihatnya kurang sesuai dengan upacara penerimaan kunci kota itu, tetapi justru wali kota Al Quds menyerahkan kunci itu setelah mengamati pempilan Khalifah yang sederhana, seraya berkata, “Kami membaca dalam kitab suci kami bahwa kepada negara yang akan menerima kunci kota ini akan memasuki kota ini dengan berjalan kaki, sementara khadamnya menuggang kendaraannya, dan pada tsaubnya ada tujuh belas tisikan.”
Sesudah Umar menerima kunci kota itu, ia bersujud kepada Allah Ta’ala. Semalaman dia menangis dengan sedih dan pilu. Ketika ditanyakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, dia menjawab, “Aku khawatir jika Allah Ta’ala membukakan pintu dunia kepadamu, kalian tidak saling kenal dan mesra lagi, sehingga penghuni langit tidak akan mengenalimu lagi.”


KETAJAMAN
INDERA KEENAM UMAR

Pada suatu hari Jum’at, Umar bin Khattab sedang berkhutbah di Madinah, sementara pasukan Islam tengah berperang di negeri Parsi di bawa pimpinan Sariah bin Hushn Ra. Tiba-tiba Umar berhenti dari khutbahnya dan berteriak-teriak dengan suara keras, “Ya Sariah, ke gunung… cepat ke gunung!!”
Sesuatu berseru demikian Umar melanjutkan khotbah Jum’atnya. Sesuai shalat Jum’at, Ali bin Abi Thalib Ra bertanya kepadanya, “Ya Amirul Mukminin, apa yang Anda terikkan tadi? Kami mendengar Anda berteriak-teriak memanggil Sariah, padahal Sariah sedang memimpin pasukan Islam di Negeri Parsi.”
Umar menjawab, “Ya Ali! Aku melihat pasukan musuh sedang mengepung pasukan yang dipimpin oleh Sariah. Jadi aku memerintahkan dia agar cepat-cepat lari kegunung. Semoga allah melindungi pasukannya dari musuh-musuhnya.”
Sesudah sariah dan pasukannya kembali dari medan laga, para sahabat bertanya tentang apa yang terjadi dalam peperangan parsi, sementara itu tidak ada satupun sahabat yang membicarakan perihal perkataan Umar dalam khotbah jum’at. Sariah berkisah kepada para sahabatnya Ra, “ketika kami di medan laga, musuh berusaha keras menjepit dan mengepung kami. Pada saat itu kami sudah benar-benar terkepung. Tetapi tiba-tiba kami mendengar seperti suara Khalifah Umar bi khattahab yang memerintahkan kepadaku supaya cepat-cepat lari ke gunung. Maka kami pun segeralari ke gunung, dan ternyata Allah menyelamatkan kami dari rencana lihai musuh.”


DEMIKIANLAH
KAMI MEMPERILAKUKAN KALIAN,
 HAI AHLI KITAB !

Pada suatu hari Amurul mukminin Umar bin khattahab Ra berjalan-jalan di kota Madinah, lalu dia melihat seorang pengemis mengetuk pintu seseorang sambil menadahkan tangannya. Umar sungguh terharu merihat peristiwa itu. maka didekatinya pengemis tua dan buta itu seraya bertanya, “Mengapa Anda mengemis, wahai kakek?”
Kakek buta itu menjawab, “Ya amirul Mukminin, aku ini seorang Yahudi. Rambutku sudah memutih, usiaku sudah lanjut dan buta pula, sedang aku tidak punya uang….”
Khalifah Umar amat terharu mendengarnya. Maka ia segera menuntun orang tua itu ke rumahnya, dan setelah sampai ia berkata kepada isterinya, Ummu Kultsum, “Wahai isteriku, keluarkanlah makanan yang ada. Aku sedang mengundang makan orang ini.” Isterinya segera mengeluarkan makanan yang ada yang kemudian disantap dengan sepuas-puasnya oleh Umar beserta kakek tua itu.
Sesudah makan, Umar pergi ke Baitulmal dan memerintahkan kepada penjaganya, “Perhatikanlah orang tua ini dan orang-orang yang senasib dengannya supaya mendapat bagian dari baitulmal. Kami bukan orang yang berkebajikan, kalau mereka diabaikan sesudah rambutnya memutih dan pungguhnya membungkuk.”


SOSOK
PEJABAT NEGARA YANG BIJAK

Pada suatu malam seorang utusan dari wali Azerbaijan datang memasuki kota madinah. Karena hari sudah malam maka ia memutuskan untuk bermalam di masjid Rasulullah Saw. ia berniat biarlah besok pagi dia menemui Amirul Mukminin Umar bin khatthab. Namun, ketika hendak tidur, di malam yang hening dan amat dingin itu dia mendengar suara orang tengah menangis dan merintih memohon ampun kepada Allah. orang itu memohon kepada Allah: Ya Robbi, aku sedang berdiri di depan pintu-Mu. Apakah Engkau menerima taubatku supaya aku tidak mengucapkan selamat kepada diriku, atau engkau menolaknya supaya aku menyampaikan rasa duka citaku kepada diriku.”
Perutusan wali Azerbaijan amat terkesan dengan ucapan tersebut. Matanya tidak jadi dipinjamkan. Dia sungguh penasaran siapa gerangan orang yang berdoa di masjid pada malam yang dingin dan telah larut begini. Maka didekatinyalah orang itu seraya bertanya, “wahai saudaraku, kalau boleh aku tahu siapakah engkau!”
Orang itu dari kegelapan menjawab, “Aku Umar bin khatthab!”
Wali dari Azerbaijan amat terkejut mendengar jawaban itu. sungguh, ia tidak menyangka sama sekali orang yang kini berada bersamanya di dalam masjid Rasulullah adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattha. Maka denan nada masih terkejut, utusan dari Azerbaijan itu berkata memperkenalkan diri, “Aku adalah utusan wali dari Azerbaijan. Aku datang ke Madinah dengan maksud menyampaikan suatu amanat kepada baginda dari wali Azerbaijan. Sesampai di Madinah ternyata hari telah malam, maka keputusan besok pagi saja aku ke rumah baginda karena aku tidak mau menggangu tidur baginda. Maksudnya, biarlah esok pagi kusampaikan amanat itu, tapi ternyata baginda ada di sini….”
Khalifah menjawab perkataan orang itu dengan singkat, “semoga Allah merahmatimu. Aku takut bila aku tidur semalam suntuk akan menghilangkan diriku di hadapan Allah, dan kalau aku tidur sepanjang hari berarti aku telah menghilangkan rakyatku.”
Sesudah keduanya usai shalat fajar, Khalifah Umar  mengajak tamunya pergi ke rumahnya. Khalifah Umar berkata kepada isterinya, “Ya Ummu Kultsum! Keluarkan makanan yang ada kami datangkan dari jauh, dari Azerbaijan.” Isterinya menjawab, “Kami tidak mempunyai makanan selain roti dan garam.” “Tidak mengapa.” Jawab Umar. Maka kemudian keduanya makan roti dan garam.
Sesudah makan, khalifah Umar bin Khatthab bertanya kepada tamunya, “Apa maksud kedatangan Anda kali ini?”
Utusan Azarbaijan iyu menjawab, “Aku adalah perutusan negeri Azerbaijan. Amirulku memerintahkan aku membawah hadiah ini untuk baginda.” Umar bin Khatthab berkata, “Bukahlah bungkusan itu , apa isinya?” sesudah dibuka ternyata isinya gula-gula. Kata perutusan itu, “Gula-gula itu khusus buatan Azerbaijan.”
Umar Ra pertanya lagi, “Apakah semua kaum Muslimin mendapat kiriman gula-gula itu?” Perutusan itu tertegun sejenak, lalu dia menjawab, “Tidak, baginda…… gula-gula itu khusus untuk Amirul Mukminin….”
Mendengar perkataan itu Umar marah sekali. dia lalu memerintahkan kepada utusan tersebut untuk membawa gula-gula itu ke masjid, dan membagi-bagikannya kepada fakir miskin kaum muslimin yang ada di sana. Umar berkata dengan nada marah, “Barang itu haram masuk ke perutku, kecuali kalau kaum muslimin memakannya juga! Dan kaum cepat-cepatlah kembali kenegerimu. Beritahukan kepada yang mengutusmu, kalau ia mengulanginnya kembali, maka akan kupecat dia dari jabatannya!”.


SOSOK
PEMIMPIN KAUM MUSLIMIN

Pada suatu petang Amirul Mukminin umar bin Khatthab berjalan-jalan seorang diri di pinggiran kota Mekkah. Tiba-tiba dia mendengar dari dinding sebuah rumah seorang wanita yang sedang mendendangkan syair-syair kerinduannya kepada suaminya yang pergi jauh dan lama.
Keesokan harinya Umar pergi menemui puterinya. Hafshah yang juga isterinya Rasulullah. Ia bertanya, “Ya Hafshah, berapa bulan seorang isteri bisa tahan ditinggal suaminya?”
Hafshah tidak segera menjawab dengan memberi isyarat lewat keempat jarinya. Lalu katanya, “Bacalah firman Allah Ta’ala: “Bagi orang-orang yang menggila (bersumpah tidak akan mencampuri isterinya) diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya). Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah 226)
Hafshah hafal seluruh isi Al Qur’anul Karim. Dia merupakan orang pertama yang diberi kepercayaan memegang Al Mushhaf Asy Syarif yang pertama dan dari Mushhaf itulah semua Qur’an yang ada dewasa ini.
Sesudah Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengetahui hal itu, dia segerah pergi dari wanita yang ditinggal pergi suaminya untuk menanyakan kemana suaminya pergi. Ternyata suami wanita itu seorang prajurit kaum muslimin yang dikairim lama sekali ke front Parsi. Akhirnya Khalifah Umar menetapkan dan mengumumkan bahwa semua pasukan Islam tidak boleh dikirim keluar dari tempo empat bulan.
Itulah pemerinhan Khalifah Umar bin Kattab, pemerintahan pertama yang menetapkan penggantian pasukan di medan perang.


CIRI-CIRI MASYARAKAT MUSLIM

Pada masa Khalifah Abu Bakar Assyiddiq Ra, Umar bin Khattab yang pada waktu itu memegang jabatan sebagai Qodhi (hakim) perna mengajukan sebuah usul kepada Khalifah Abu Bakar Assyiddiq.
Umar berkata kepada Abu Bakar di hadapan para sahabatnya yang lain, “Ya Amirul Mukminin Abu Bakar, sudah lama aka memegang jabatan qodhi dalam Khalifah ini namun tidak banyak orang yang mengadukan hal-ihwalnya kepadaku. Karena itu sekarang aku mengajukan permohonan agar dibebaskan dari jabatan ini?”
Khalifah Abu Bakar Ra sungguh terkejut mendengar usulan Umar. Maka ia bertanya dengan nada heran, “Mengapa engkau mengajukan permohonan ini? Apakah karena bertanya tugas tersebut, ya Umar?”
Umar menjawab, “Tidak, ya Khalifahtu Rasulillah, akan tetapi aku sudah tidak diperlukan lagi menjadi qadhinya kaum mukminin. Mereka semua sudah tahu haknya masing-masing sehingga tidak ada yang menuntut lebih dari haknya. Mereka juga sudah tahu kewajibannya sehingga tidak seorang pun yang merasa perlu menguranginya. Mereka satu sama lain mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya. kaLau salah seorang tidak hadir, mereka mencarinya, kalau ada yang sakit mereka menjenguknya, kalau ada yang tidak mampu mereka mambantunya, kalau ada yang membutuhkan pertolongan mereka segerah menolong, dan kalau ada yang terkena musibah mereka menyampaikan rasa duka cita. Agama mereka adalah nasihat. Akhlak mereka adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Karena itulah tidak ada alasan bagi mereka untuk bertengkar.”


MEMPERGAULI ISTRI
DENGAN BAIK

Pada suatu hari seorang lelaki datang kerumah Umar bin Khattab Ra hendak mengadukan keburukanakhlak istrinya. Namun setiba di samping rumahnya, ia mendengar istri Umar bin Khattab Ra mengeluarkan kata-kata yang keras dan kasar kepada suaminya, sementara Umar tidak menjawab sepata katapun. Akhirnya orang itu berpikir, sebaiknya dia membatalkan niatnya.
Ketika orang itu hendak berbalik pulang, Umar baru saja keluar dari pintu rumahnya. Umar segera berteriak memanggil orang itu. umar lansung berkata kepadanya, “Engkau datang kepadaku tentu hendak membawa suatu berita yang penting!”
Orang itu lalu berkata terus terang, “Ya sahabat Umar bin Khattab, aku datang kepadamu hendak mengadukan keburukan akhlak istriku terhadapku. Akan tetapi setelah aku mendengar kelancangan istrimu tadi kepadamu, dan sikap diammu terhadap perbuatannya, aku jadi mengurungkan niatku untuk melaporkan halku itu.”
Mendengar perkataan yang jujur itu, Umar tersenyum kecil seraya berkata, “wahai saudaraku, istriku telah memasakkan makanan untukku. Dia juga telah mencuci pakaianku, mengurus urusan rumahku, dan mengasuh anak-anakku dengan tiada hentinya. Maka bila ia berbuat satu dua kesalahan, tidaklah layak kita mengenangnya, sedang kebaikan-kebaikannya kita lupakan. Ketahuilah, wahai saudaraku, antara kami dan dia hanya ada dua hari. Kalau kami tidak meninggalkannya terbebas dari perangainya kami pula.”
Setelah mendengar penuturan yang amat bijak dan penuh hikmah itu, orang tersebut pergi meninggalkan Umar bin Khattab dengan hati gembira dan puas.


KEMBALIKAN KE BAITULMAL

Pada suatu hari ketika Umar bin Khatthab Ra meninjaunta-unta sederhana dia memilih seekor untah yang gemuk yang berbeda dengan unta-unta lainnya. Maka beliau bertanya, “unta milik siapa ini?” salah seorang yang hadir di situ menjawab, “Itu unta milik puteramu, Abdullah.”
Umar segera memerintahkan Abdullah bin Umar agar datang ke tembat tersebut. Setelah Abdullah tiba, Umar segerah mengusut perihal unta tersebut, “Bera unta ini kau beli?” Abdullah menjawab, “Sekian.” “kalau begitu,” kata Umar, “kau hany aboleh menerima uang modalmu, kelebihannya harus diberikan kepada Baitulmal.” Ternyata Abdullah tidak menerima keputusan ayahnya. Ia protes, “Mengapa begitu Ayah?!”
Umar menjawab, “orang-orang itu mengatakan, ini untahnya putera Amirul Mukminin, maka biarkanlah dia makan dan minum sepuas-puasnya. Jangan ada yang mengganggunya. Nah, dengan demikian engkau hanya berhak menerima harga pembeliannya, dan kelebihannya untuk Baitulmal kaum Muslimin.”
Abdullah mengangguk seteju setelah tahu mengapa ayahnya memutuskan perkara yang haq dan amat adil tersebut.


LEBIH TAKUT KEPADA MANUSIA
 DARIPADA
 KEPADA ALLAH TA’ALA

Pada suatu hari seusai mengingat shalat Ashar, Khalifah Umar bin Khatthab Ra menanyakan tentang kabar salah seorang sahabat yang tidak menghadiri shalat jama’ah. Salah seorang sahabat berkata, “Kabarnya dia sakit, ya Amirul Mukminin!”
Maka Umar Ra memutuskan untuk pergi kerumahnya. Setiba di sana ia ketuk pintu rumahnya, dan dari dalam sahabat itu bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
Dari luar Umar menjawab, “Umar bin Khatthab!”
Mengetahui yang datang adalah Amirul Mukminin, orang itu berlari dengan sigap untuk segera membuka pintu. Tapi ketika kedua mata Umar bin Khatthab bertatapan dengan kedua mata sahabat itu, Umar bertanya dengan nada menegur, “mengapa engkau tidak shalat jama’ah bersama kami? Padahal Allah Ta’ala telah memanggil engkau dari atas langit ketuju: “Hayya Alas shalat”, mari bershalat”, akan tetapi engkau tidak menyambutnya! Sedang panggilan Umar bin Khatthab sempat membuatmu gelisah dan ketakutan!!”


ANTARA AMAL DAN NIAT

Di jaman kekhalifahan Umar bin Khatthab ada sepasang suami-isteri yang sedang mengalami keretakan. Setelah Umar mendapatkan laporan ini beliau kemudian mengirimkan dua orang wali dari keluarga suami-siteri itu untuk mendamaikannya. Mereka berusaha mendamaikan suami-isteri itu, tetapi keduanya tetap tidak mau menerima pemecahan yang diusulkan keluarganya. Akhirnya para wali keluarga suami-isteri itu melaporkan perihal tersebut kepada khalifah Umar bin Khatthab. Mereka mengatakan bahwa suami-isteri itu tidak mau diperbaiki dan didamaikan.
Umar bin Khatthab langsung mengangkat tongkatnya yang diberi nama “Ad durah” di atas kepada keduanya. Umar mengancam para wali keluarga itu. hal itu membuat mereka kebingungan, “apa salah kami, ya Amirul Mukminin?”
Umar Ra lalu menjelaskan dengan nada marah, “kalau kalian berdua sungguh-sungguh berniat akan mendamaikan keduanya, tentu Allah Ta’ala akan mendamaikan mereka! Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman: “Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu….” (An Nisaa 35)


KARENA MENCINTAI SAHABAT

Pada suatu hari Umar bin Khatthab pergi mengadukan perihal Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah, Ali bin Abi Thalib tidak pernah memilai mengucapkan salam kepadaku…”
Mendengar pengaduan seperti itu Rasulullah Saw segera memanggil Ali Ra untuk datang. Lalu Rasulullah bertanya kepadanya, “Ya dahulu kepada umar?”
Ali bin Abi Thalib Ra menjawab, “Ya Rasulullah, hal itu kulakukan karena ucapan Rasulullah juga yang mengatakan: “Siapa yang mendahului saudaranya mengucapkan salam, Allah akan mendirikan baginya istana di surga.” Karena itulah, ya Rasulullah, aku selalu ingin Umar mendahuluiku mengucapkan salam supaya ia bisa mendapatkan istana di surga!”


PINTU MEMBENDUNG FITNAH

Salah seorang sahabat yang mulia, Hudzaifah bin el Yaman yang merupakan sahabat karib Rasulullah dan sering medapat julukan sebagai juru kunci rahasia Rasulullah Saw berkisah:
Pada suatu hari tatkalah kami sedang duduk-duduk di rumah Khalifah Umar bin Khattab, beliau bertanya, “Sapa di antara kalian yang perna mendengar sabda Nabi Saw tetang fitnah yang menggelombang seperti gelombang air laut?”
Aku (Hudzaifah) menjawab, “Aku mendengernya, ya Amirul Mukminin! Rasulullah Saw perna berkata, “Bergegas-gegaslah melakukan amal shaleh. Akan segerah datang fitnah yang melanda kalian seperti sepotong malam yang kelam. Seorang yang pagi hari mukmin, pada sore harinya bisa menjadi seorang kafir, dan seorang sore harinya kafir, pada pagi harinya berubah menjadi seorang mikmin. Pada saat itu orang menjual agamanya dengan kesenangan dunianya!”
Kemudian Hudzaifah berkata lagi kepada Khalifah Umar bin Khattab, “Ya Umar, Rasulullah Saw telah memberi kabar kepadaku bahwa antara engkau dan fitnah hanya dibatasi oleh sebuah pintu yang hampir patah. Adalah pintu itu ialah Umar. Kalau ia patah, maka gelombang fitnah akan masuk dan melanda dengan ganas sekali!”
Umar lalu berkata kepada Hudzaifah, “Apakah pintu itu aku patahkan supaya segalanyadapat dipulihkan seperti sediakalah?” Dijawab oleh Hudzaifah, Tidak, ia akan dipatahkan….”
Karena itulah saya ingatkan dan serukan kepada seluruh umat Islam dimanapun berada supaya mempelajari hadist ini. Pembunuhan terhadap Umar Ra ketika sedang mengimami shalat Subuh itu telah membuka pintu fitnah yang luar biasa ganasnya. Umar bin Khattab Ra telah dibunuh oleh Organisasi Rahasia di bawah oleh pimpinan seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam. Dia adalah Abdullah bin Saba’. Dalam jam’iyahnya dia bergabung dengan berbagai golongan orang Yahudi dan Majusi. Lalu ia mengirimkan seorang budak bernama Abu Lu’lu, seorang Majusi untuk membunuh Umar Ra pada waktu shalat Fajar.
Umar bin Khattab sendiri pernah bermimpi sebelum ditikam oleh si Majusi itu. isi mimpinya itu pernah diceritakannya pada suatu khutbah Jum’atnya. Katanya, “Aku bermimpi seekor ayam jantan mematukku sebanyak tiga kali. Ini berarti ajalku sudah di ambang pintu. Kalau aku meninggal dunia, Allah tidak akan melenyapkan Ad Dien dan amanat-Nya yang dibawahkan oleh nabi-Nya, Muhammad Saw.”
Umar Ra menyampaikan pidatohnya itu pada hari Jum’at dan dia ditikam pada hari Rabu ketika tengah melakukan Shalat Subuh. Seorang budak Majusi menikamnya dengan tiga kali tikaman Khanjar.
Semula beliau masi ingin meneruskan shalatnya, tetapi tikaman itu membuatnya lemas, tidak memiliki daya lagi. Maka kemudian shalat Subuh itu digantikan oleh Abdurrahman bin Auf. Tikaman tersebut telah membuat Umar banyak kehilangan darah sehinggah menjadikannya tidak sadarkan diri (pingsan) beberapa saat lamanya. Setelah siuman, pertanyaan pertama yang bergulir di bibirnya adalah, “Siapa yang membunuhku?”
Setelah diberitaukan bahwa yang membunuhnya adalah seorang budak Majusi, belau lansung bersujud syukur kepada Allah seraya mengucapkan, “Alhamdulillah, ya Allah…, aku tidak Rasulullah Saw sendiri pernah berkata:

………………………………..
“Islam akan menangisi kematianmu, ya Umar! Engkau pelita Islam, ya Umar!”
Demikianlah riwayat akhir perjalanan hidup Umar bin Khattab. Beliau menutup mata setelah menjabat kekhalifahan selama 10 tahun, 6 bulan. Dan 4 hari, Radhiallahu anhu.


DEMIKIANLAH IZZAH KITA
DAHULU

Sudaraku seiman dan seislam, bacalah surat dari Raja Inggris (George II), Perancis (Gallia), Swedia, dan Norwegia kepada Khalifah, Raja kaum muslimin di kerajaan Andalusia yang mulia, Hisyam III yang budiman.

Kepada:
Khalifah Hisyam III,
Raja Andalusia yang mulia di tempat.

            Kami menghaturkan penghargaan dan penghormatan kepada tuan.
           
Setelah mendengar tetang kemajuan besar yang telah dicapai lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan perindustrian-perindustrian di negeri tuan yang makmur, timbul haserat kami untuk memetik sebagian dari model-model keutamaan itu untuk anak-anak kami. Kami ingin mereka mencontoh model-model keutamaan kaum yang tuan miliki supaya dapat dijadikan sebagai langkah awal yang baik bagi kami dalam mengikuti jejak kemajuan itu dan untuk menyebarkan cahaya ilmu pengetahuan itu di negeri kami yang sedang diliputi kebodohan dari keempat penjurunya.
Untuk maksud itu, kami telah mengangkat putri saudara kandung kami, Doubant, sebagai pemimpin delegasi yang terdiri dari putri-putri bangsawan Inggris untuk memberikan penghormatan ke bawah duli kerajaan, dan memohon kasih sayang baginda. Kiranya dia dan rekan-rekannya mendapat perhatian dan perlidungan yang mulia dan seluruh angguta keluarga tuan yang murah hati. Kami haturkan pula rasa hormat dan terima kasih kami yang tak terhingga kepada para guru yang ditugaskan memberikan pelajaran kepada mereka.
Kami juga mengirimkan di tangan puteri yang kecil itu suatu hadiah yang sederhana untuk Paduka tuan yang mulia. Mudah-mudahan tuan menerimanya dengan senang hati dan kami haturkan hadiah itu dengan penghormatan yang setinggi-tingginya dan kecintaan yang seikhlas-ikhalasnya.”

Khadam tuan yang patuh, 
George II, Raja Inggris,
Gallia (Perancis), Swedia, dan Norwegia


PERISTIWA SYAHID
DARI PERANG UHUD

Ketika kaum muslimin berperang dengan kaum kuffar dalam perang Uhud, Abdullah bin Umar, ayah Jabir bin Abdullah Ra tewas. Rasuluhllah Saw berkata kepada Jabir, “Ya Jabir, maukah aku sampaikan berita gembira untukmu?” “Tentu, ya Rasulullah,” jawab Jabir dengan antusias. “Seorang seperti baginda tidak akan menyampaikan berita kecuali yang baik-baik,” Kata Jabir selajutnya.
Maka Rasulullah bersabda kepadanya, “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah berbicara dengan seorangpun, kecuali di balik hijab. Akan tetapi Dia telah berbicara dengan ayahmu tanpa hijab. Allah Ta’ala berfirman: “Ya Abdullah! Mintalah kepada-Ku, Aku akan memberikan apa yang kau minta!” Lalu ayahmu menjawab, “Ya Robbi, aku minta dihidupkan lagi ke dunia supaya aku bisa bercerita kepada kawan-kawanku tentang kenikmatan yang kuperoleh disini, dan kemudian aku tewas lagi karena Engkau. Tetapi Allah Ta’ala menjawab, “Ya Abdullah, Aku sudah berjanji pada diri-Ku, orang yang sudah dimatikan tidak dikembalikan lagi ke dunia.”
Abdullah Ra berkata lagi, “Ya Robbi, kalau begitu siapa yang akan memberitaukan kepada para sahabatku dengan kenikmatan yang kuperoleh disini? Maka Allah Ta’ala menjawab, “Aku yang akan menyampaikannya kepada mereka, ya Abdullah!”
Lalu Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya:
……………………………………….
……………………………………….
“Jangan kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati: bahkan mereka itu hidup di sisi Robbinya dengan mendapat rizeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(Ali Imran 169-170)


AMAL KEBAIKAN ITU DIGANJAR
SEPULUH KALI LIPAT

Pada suatu hari kafilah Usman bin Affan yang terdiri dari seribu unta yang bermuatan kurma, minyak, kismis, dan lain-lain tiba di tempat tinggalnya. Melihat kafilah unta yang membawa barang-barang dagangan itu, para pedagang berdatangan menyambungnya. Mereka berkata, Ya Usman, kami bermaksud hendak membeli barang-barangmu ini, sedifham dengan dua dirham.” Namun Usman menjawab, “Sayang sekali, aku sudah menjualnya lebih tinggi dari itu…”
“Kalau begitu kutambah sedirham dengan lima dirham,” tantang para pedagang itu kepada Usman.
Namun Usman kembali menjawab tantangan itu, “Yang lain berani membayar lebih… sedirham dengan sepuluh dirham.”
Mendengar jawaban Usman yang demikian, mereka amat terkejut seakan tak percaya. Mereka bertanya kepada Usman Ra dengan nada penasaran, “Wahai Usman, siapakah yang berani membayar sebesar itu di Madinah, selain dari kami??!”
Usman menjawab dengan tenang, “Aku telah menjualnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kebaikan itu ganjarannya sepuluh kali lipat.”
JANGANLAH ANDA TERGOLONG
DARI MEREKA

Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhahu berwasiat

“Janganlah engkau tergolong dari orang yang berkata dengan perkataan para zahid (yang tidak suka dunia), dan bekerja dengan pekerjaan orang serakah. Suka kepada orang shaleh tapi tidak mengerjakan pekerjaan mereka. Benci kepada pelaku dosa tapi termasuk salah seorang dari mereka. Kalau sehat ‘ujub pada diri sendiri, dan kalau diuji cepat patahati. Kalau menderita musibah, berdoa dengan terpaksa, dan Kalau beroleh karunia berpaling menyobaongkan diri. Dirinya ditundukkan oleh persangkaannya, bukan oleh keyakinannya. Bercerita tentang ibrah akan tetapi tidak menjadikannya sebagai ibrah. Banyak mengunyah petuah, namun tidak dijadikan sebagai petuah. Kata-katanya dijadikan dalil tetapi perbuatannya bertetanggan dari itu. membesar-besarkan dosa orang lain dan meremehkan dosanya sendiri. Membangga-banggakan ketaatan dirinya dan tidak menilai ketaatan orang lain. Senang mengumpat orang, dan kerjanya berpura-pura. Senang berfoya-foya dengan orang-orang kaya, dan tidak suka berdzikir dengan orang-orang fakir miskin. Suka membenarkan diri sendiri dan selalu menyalahkan orang. Selalu melanggar dan menuntut penepatan, padahal dia sendiri tidak pernah menepati janji. Takut kepada makhluk tidak demi Robbnya, dan tidak Robbnya demi makhluk-Nya.”


BILA QADHI KAUM MUSLIMIN
MENGADILI AMIRNYA

Ketika Ali bin Abi Thalib berjalan di pasar, dia melihat baju besinya ada di toko seorang Yahudi. Kemudian dia amati baju besi itu, dan barang itu memang miliknya. Maka ia bertanya kepada orang Yahudi perihal barang tersebut. Namun orang Yahudi itu tidak mau mengakuinya. Untuk menyelesaikan perkara itu maka Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra mengadukannya kepada qadhi kaum Muslimin, Syuraih Ra.
Di pengadilan Ali bin Abi Thalib berkata, “Baju besi itu adalah milik saya yang hilang. Barang tersebut terjatuh dari unta yang sedang saya naiki.”
Tetapi orang Yahudi itu cepat menyangkal, “Tidak! Ini adalah baju besi saya dan kini ada di tangan saya!”
Setelah mendengar pertanyaan kedua penggugat itu, Syuraih mengamati baju besi tersebut, dan kemudian dia berkata, “Benar demi Allah, ya Amirul Mukminin, ini adalah baju besi Anda. Tetapi untuk menyelesaikan kasus ini Anda harus menghadiri dua orang saksi kemari.”
Maka Khalifah Ali bin Abi Thalib pun memanggil khadamnya, Qabarah, dan putranya Al hasan. Mereka berdua bersaksi bahwa baju besi itu milik orang Yahudi. Qadhi Syuriah berkata kepadanya, “Ambilah baju besimu itu!” Maka orang Yahudi itupun mengambilnya dan membawahnya pulang sambil melirik kebelakang. Dia melihat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menjabat tangan dan merangkul qadhi itu seraya berkata, “Sungguh, inilah keputusan yang adil dan haq.”
Melihat perilaku kedua mikmin itu, orang yahudi jadi berpikir kembali. Katanya dalam hati, “Amirul Mukminin mengadukan aku kepada qadhinya kaum muslimin, tapi kemudian qadhi itu memutuskannya kalah, dan ia (Ali bin Abi Thalib) menerima keputusan itu dengan lapang dada…” direnungkannya akhlak yang sungguh mulia itu.
Ketika Khalifah Ali bin abi Thalib tengah berjalan pulang, orang Yahudi itu mengikutinya dari belakang. Dia kemudian memanggol Ali Ra dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, baju besi itu memang milik anda. Barang itu jatuh dari untamu, dan kemudian saya memungutnya. Saksikanlah wahai Amirul Mukminin, saya bersaksi “tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Saw adalah Rasulullah”, “ashadu anlaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah.”
Amirul Mukminin Ali bin abi Thalib Ra kemudian berkata, “karena engkau telah menyatakan Islam, maka baju besi itu kuberikan kepadamu, begitu pula kudaku ini.” Dan sejak saat itu kedua barang tersebut tetap berada di tangan orang Yahudi itu hingga dalam perang Shaffain.


LUKISAN BIJAKSANA
UNTUK DUNIA

Seorang lelaki datang kepada Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib Ra. Dia memohon, “Wahai Amirul Mukminin, aku telah membeli rumah, dan aku ingin transaksi jual-beli ditulis dengan tangan baginda.”
Khalifah Ali bin Abi Thalib mengamati wajah orang itu dengan tajam. Beliau tahu dunia sudah bertakhta dalam kalbunya, dan beliau ingin memberinya pelajaran yang menyadarkan kepada Allah Ta’ala. Maka ditulislah transaksi jual-beli yang dimintanya sebagai berikut

Bismillahir rahmanir rahim

Amma Ba’du. Seorang mayit telah membeli rumah dari seorang mayit lainnya di negeri orang-orang yang berdosa dan di tengah-tengah orang yang alpa dengan keempat perbatasannya sebagai berikut:
Yang pertama, berbatasan dengan kematian. Yang kedua, berbatasan dengan kuburan. Yang ketiga, berbatasan dengan hari perhitungan, dan yang keempat, berbatasan dengan surga atau neraka.




TIGA KELEBIHAN
ALI BIN ABI THALIB

Nabi Saw pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib Ra, “Wahai Ali, Allah Ta’ala memberikan tiga kelebihan untukmu. Pertama, kamu dikawinkan dengan Fatimah, pemimpin wanita penduduk surga. Kedua, kamu dikaruniai Al Hasan dan Al Husain, yang keduanya pemimpin pemuda penduduk surga, dan ketiga, kamu menjadi menantu Muhammad, pemimpin umat yang terdahulu dan yang terakhir. Ini bukan suatu kesombongan bagimu.”


MIMPI SEORANG YANG IKLHLAS

Ali bin Abi Thalib pernah berkisah:

“Pada jaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khatthab Ra aku melihat dalam mimpi seolah-olah aku sedang shalat fajar di belakang Rasulullah Saw. sesudah selesai shalat, aku keluar Masjid. Tiba-tiba aku melihat seorang wanita shalat, aku keluar Masjid dengan sepiring korma di tangannya seraya berkata, “Ya Ali, terimalah piring ini dan berikan kepada rasulullah.”
Sesudah kusampaikan amanat ini, Rasulullah Saw mengambil sebuah kurma dan meletakkannya dimulutku. Setelah aku mencicipnya, aku berkata kepadanya, “Berikan kepadaku sebuah lagi, ya Rasulullah…” Sebelum baginda Saw sempat menambahnya, aku tiba-tiba terbangun oleh suara muadzim di Masjid Rasulullah.”

Selanjutnya Ali Ra berkisah lagi tentang mimpinya:

“Aku pergi ke masjid bermakmum di belakang Amirul Mukminin Umar bin Khatthab Ra. sesudah usai shalat, aku keluar dan ternyata di pintu Masjid ada seorang wanita dengan sepiring korma di tangannya. Wanita itu berkata kepadaku, “Ya Ali, berikan korma ini kepada Amirul Mukminin Umar bin Khatthab.” Sesudah aku memberikannya, Umar bin Khatthab mengambil kurma itu sebuah, lalu menyuapkannya ke mulutku. Aku berkaya kepadanya, “Ya Amirul Mukminin, tambahlah sebuah lagi…” Umar bin Khatthab kemudian berkata, “kalau Rasulullah Saw menambah untukmu, maka aku menambahnya juga!”
Ali bin Abi Thalib terheran-heran dengan peristiwa yang dialami dalam mimpinya itu. maka kemudian ia menanyakannya kepada Umar bin Khatthab Ra, “Ya Amirul Mukmini, apakah Anda bermimpi seperti mimpiku, atau Allah Ta’ala membukakan pintu gaib-Nya untukmu?”
Umar Ra menjawab, “Itu bukan mimpi dan bukan pula ilmu gaib. Seorang mukmin, nila kalbunya ikhlas lillahi Ta’ala, dia akan melihat sesuatu dengan nur Allah.”

KESHALEHAN PARA KHALIFAH

            Pada suatu perang Ali bin Abi Thalib datang ke rumah Amirul Mukminin Umar bin Khattab Ra. pada waktu itu beliau sedang duduk menulis gaji para pegawai negeri dengan diterangi sebuah pelita (lilin) yang berada di atas mejanya.
            Setelah Ali Ra berada di ruangannya, Umar Ra bertanya, “Wahai Ali, ada kepentingan apakah engkau datang, apakah kepentingan kaum muslimin atau untuk kepentingan pribadi?”
            Ali agak sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut. Maka dia bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa Anda bertanya demikian?”
            Umar bin Khattab Ra menjawab tegas, “Jika kedatanganmu menyangkut kepetingan kaun muslimin, maka aku akan membiarkan lilin ini menyala terus, tetapi engkau datang untuk urusan pribadi, maka aku akan mematikan lilin ini agar jangan sampai mal kaum muslimin terpakai tidak untuk kepentingan mereka.”


TIPU DAYA
SEORANG WANITA MUNAFIK

            Seorang wanita munafik mengadu kepada Amirul Mukminin Umr bin Khattab bahwa ia diperkosa oleh seorang lelaki, dan karena ia melawannya air mani lelaki itu tumpah di luar dan mengenai kainnya. Ia mengadukan perkara tersebut sambil memperlihatkan tumpahan putih yang ada pada dirinya.
            Setelah mendengar uraian wanita itu, Umar tidak segera mengabil keputusan. Ia meminta pendapat Ali bin Abi Thalib Ra, “Bagaimana pendapatmu, ya Ali?” Ali bin Abi Thalib Ra mejawab, “Kita bawa air panas. Sirami kain itu dengan air panas. Bila ia beku dan matang tentu bercakan itu adalah putih telur, tetapi kalau setelah disiram air panas bercakan itu hilang, tentu iar mani.”
            Maka disiramlah kain itu dengan air panas, dan ternyata bercakan itu membeku. Maka Umar berkata kepada wanita itu, “Takutlah engkau kepada Allah, hai perempuan! Ternyata ini hanya tipuan dan tuduhan palsu belaka!”


WARISAN PALING BERHARGA

            Pada suatu hari Abu Hurairah Ra berdiri di pasar kota Madinah. Kemudian ia berkata kepada para pedagang, “Wahai para pedagang, mengapa kalin masih belum menutup dagangan kalian?”
            Mereka bertanya kebingungan, “Ada apa kiranya, ya Abu Hurairah?”
            Abu Hurairah menjawab, “Apakah kalian tidak tahu kalau warisan Muhammad Saw tengah dibagi-bagikan sehingga kalian masih berada disini? Apakah kalian tidak ingin mengambil bagian kalian?”
            Dengan keinginan yang meluap mereka bertanya serius, “Dimana, ya Abu Hurairah?!”
            “DI Masjid Rasulullah,” jawab Abu Hurairah Ra.
            Setelah diberitahu demikian, para pedagang itu segera bergegas pergi ke Masjid Rasulullah, sedangkan Abu Hurairah tetap tinggal disitu, tidak ikut pergi.
            Tak berapa lama kemudian para pedagang itu kembali ke pasar. Abu Hurairah bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian kebbali?”
            Mereka segera menjawab dengan nada kesal, “Ya Aba Hurairah, kami telah datang ke Masjid Rasulullah, tetapi setiba disana kami tidak melihat ada sesuatu yang dibagi-bagikan Rasulullah….”
            Abu Hurairah bertanya lagi memancing, “Apakah kalian tidak melihat seorangpun di dalam Masjid?”
            “Bukan demikian, ya Aba Hurairah, kami melihat banyak orang tapi bukan seperti yang kau maksud. Kami melihat banyak orang yang sedang shalat, sementara sekelompok lainnya ada yang mengaji Al Qur’an dan ada pula yang sedang mempelajari soal-soal yang halal dan yang haram…, “jawab para pedagang itu agak sewot.
            Medengar uraian para pedagang tersebut, Aba Hurairah menjelaskan, “Wahai para pedagang, ketahuilah, itulah warisan Muhammad Saw yang paling berharga untuk kalian semua….”(HR. Ath Thabrani)


CINTA KEPADA RASULULLAH SAW

            Ketika Rasulullah Saw tengah berjalan di pasar, beliau mendengar seorang budak yang hendak di jual oleh tuanya berteriak–teriak. Katanya, “Siapa yang mau membeliku, diharap jangan melarangku shalat di belakang RasulullahSaw!”
            Akhirnya budak mukmin itu dibeli seorang muslim penduduk kota Madinah, dan orang itu benar-benar menepati permohonan budaknya. Setiap Rasulullah Saw shalat, budak itu selalu di belakangnya.
            Pada suatu hari tiba-tiba Rasulullah Saw tidak melihat budak itu lagi. Maka beliau bertanya kepada para sahabatnya, “Kemana anak muda itu? Mengapa dia tidak hadir di belakangku waktu shalat?” Para sahabat menjawab, “Dia tengah berbaring sakit, ya Rasulullah.”
            Mendengar berita itu, Rasulullah Saw segera pergi ke rumah budak tersebut untuk menjenguknya. Setiba di pintu rumahnya, beliau mengetuk pintu, dan dari dalam terdengar suara budak itu bertanya, “Siapa di luar?” Rasulullah segera menjawab, “Aku, Muhammad Rasulullah..!”
            Subhannallah, di saat kedatangan Rasululla Saw budak itu menigal dunia. Dia benar-benar telah wafat dalam keadaan husnul khatimah. Dia meninggal dunia di depan Rasulullah Saw sehingga Rasulullah sempat mentalkininya, memandikannya, mengkafaninya, dan menyolatinya.


KESUCIAN SEORANG MUKMIN

Ada seorang kafir muslim yang selalu tekun shalat di belakang Rasulullah Saw. ia tidak mempunyai tsaub, kecuali yang dipakainya untuk shalat sehingga karena telah lama dipakai, tsaub itupun robek disana-sini dan sebenarnya tsaub itu sudah tidak layak lagi dipakai untuk shalat. Namun ia ingin jangan sampai dirinya ketinggalan Takbiratul Ihram di belakang Rasulullah walaupun hanya sekali. karena itulah meskipun tsaubnya sudah robeng ia tetap memakainya untuk shalat di Masjid Rasulullah.
Pada suatu hari Rasulullah Saw bertanya kepadanya mengenai keadaannya, dan dia menjawab, “Alhamdulillah, ya Rasulullah!”
Tetapi Rasulullah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Beliau memberikan gamisnya dan lansung memakaikannya ke badan fakir mukmin iyu. Namun setiba di rumah, isterinya lansung mengenali gamis itu. ‘Ia berkata kepada suaminya dengan nada kurang senang, “Kau tentu telah mengelukan Allah kepada Rasulullah! Hati-hatilah, jangan sampai kau mengeluhkan Allah Ta’ala kepada Rasulullah!”
Suaminya bersumpah bahwa dia tidak pernah melakukannya. Isterinya bertanya lagi dengan nada masih ragu, “Tapi kenapa tiba-tiba saja Rasulullah memakaikan gamisnya kepadamu?!”
Suaminya menjawab, “Demi Allah, aku tidak menerimanya, melainkan supaya aku dikafani dengan gamis itu sesudah aku meninggal dunia…”


KEABADIAN ITU
HANYA MILIK ALLAH

Pada jaman Nabi Saw ada dua orang tua suami-isteri yang biasa digendong putranya bila hendak mengikuti shalat jama’ah bersama Nabi Saw di Masjid. Pada suatu hari, sesuai shalat Nabi menengok kebelakang. Dia tidak melihat kedua orang tua itu. maka beliau bertany kepada para sahabat, “Kenapa kedua orang tua itu tidak hadir?”
Mereka menjawab, “Putra mereka meninggal dunia, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah Saw berkata, “Kalau ada diantara kalian seorang yang abadi, tentu anak orang tua itu juga akan abadi. Akan tetapi tidak ada yang abadi dan kekal, selain Allah Ta’ala sendiri.”


GANJARAN MENGABDIKAN DIRI
UNTUK MASJID

Pada jaman Rasulullah Saw ada seorang wanita hitam bernama ummuh Mahjan. Dia selalu menepaytkan diri membersikan Masjid Rasulullah Saw.
Pada suatu hari ketika Rasulullah Saw sedang ke pekuburan, beliau melihat sebuah kuburan baru. Maka Rasulullah bertanya, “kuburan siapa ini, wahai para sahabat?” Mereka yang hadir di situ menjawab, “Ini kuburan Ummu Mahjan, ya Rasulullah.” Rasulullah lansung menangis begitu mendengar berita tersebut, lalu beliau menyalakan para sahabatnya, “Kenapa kalian tidak memberitaukan kemataannya kepadaku supaya aku bisa menyolatinya??!”
Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, pada waktu itu matahari sedang terik sekali.”
Rasulullah diam saja mendengar jawaban tersebut. Lalu beliau berdiri dan shalat kepada mayit yang sudah ditanam beberapa hari itu dari atas kuburan, seraya bersabda, “Bila ada di antara kalian yang meninggal dunia, beritaukan kepadaku sebab orang yang kushalati di dunia, shalatku itu menjadi syafa’at baginya di akhirat.”
Sesudah berkata demikian Rasulullah kemudian memanggil Ummu Mahjan dari atas kuburnya. Sabdanya, “Assalamu alaikum, ya Ummu Mahjan!Pekerjaan apa yang paling bernilai dalam daftar amalmu?”
Rasulullah Saw diam sejenak. Tak lama kemudian beliau berkata, “Di menjawab bahwa pekerjaannya membersikan masjid Rasulullah adalah pekerjaan yang paling bernilai di sisi Allah. Allah Ta’ala berkenan mendirikan rumah untuknya di sorga, dan dia kini sedang duduk-duduk di dalamnya.”


SEORANG PENDUDUK SOGA

Ketika Rasulullah Saw sedang memberikan pelajaran agama (sesudah shalat Ashar), tiba-tiba beliau berhenti dan bersabda, “Dari arah ini (mengarahkan telunjuknya) akan datang ke majelis ini seorang (calon) penduduk surga.”
Semua mata para sahabat ditunjukan ke arah yang ditunjuk Rasulullah Saw, dan ternyata orang yang datang itu seorang badui. Ia datang menyampaikan salam, lalu melakukan shalat Ashar, dan setelah itu pulang kembali.
Pada hari kedua, pada waktu yang sama, Rasulullah Saw kembali memberitaukan para sahabatnya hal serupa, dan ternyata yang muncul adalah orang badui itu lagi, dan pada hari ketiganya beliaupun mengulangi sabdanya, dan yang muncul orang badui itu lagi.
Ketika orang badui itu pergi, seorang sahabat Ra diam-diam mengikutinya dari jauh. Ternyata dia dari desa As Sanah. Sesudah diperkirakan ia sudah ada di dalam rumahnya, barulah sahabat itu mengetuk pintu. Orang badui itu menyabut gembira kedatangannya, ia tigal di ramah orang badui itu selama tiga hari tiga malam. Ternyata menurut pengamatannya, orang badui itu tidak banyak salat, tidak banyak shaum, dan tidak banyak sedekah. Ini membuat sahabat sungguh penasaran, mengapa Rasulullah berkata demikian. Maka ia bertanya kepada orang badui itu, “Wahai saudaraku, cobalah beritaukan kepadaku tentang pekerjaan Anda yang paling suci, karena aku mendengar berita gembira dari Rasulullah Saw sampai tiga kali bahwa Anda tergolong calon penghuni surga?”
Orang badui itu mejawab dengan tawadhu’, “Aku seperti yang Anda lihat selama tiga hari tiga malam. Tetapi aku senantiasa membersikan kalbuku dari kecurangan dan kedengkian terhadap siapapun yang memperoleh karunia dari Allah Ta’ala.”
Mendengar penuturan polos tersebut, sahabat berkata kepadanya, “Sungguh beruntung, engkau telah berasil mencapainya.”


SIAPA BUTA DI DUNIA,
BUTA PULA DI AKHIRAT

Sesudah firman Allah Ta’ala yang terdapat dalam surat Al Isra ayat 72 diturunkan: Barang siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)."”Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat Ra yang tuna netra itu pergi menghadap Rasulullah dengan wajah murung. Ia mengadukan perasaannya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, ayat itu sungguh membuat hatiku sedih. Aku sudah relah dengan kebutaan di dunia ini, tetapi aku tidak sanggup dengan kebutaan di akhirat kelak.”
Sebelum Rasulullah menjawab pengaduan tersebut, Allah Ta’ala berkenan menurunkan ayat lainnya yang menjelaskan maksud ayat 72 dari surat Al Isra itu. Allah berfirman: “…Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”(Al Hajj 46)
Lalu Rasulullah berkata, “Ya Ummu Maktum, apakah kamu tidak ridha kalau kamu orang pertama melihat Zat Allah di hari kiamat kelak?!”


SENANTIASA
TAKUTLAH KEPADA ALLAH

Pada suatu hari Abu Hurairah Ra pergi ke suatu kampung. Lalu ia melihat seorang laki-laki sedang mencampur susu yang hendak dijualnya dengan air. Maka Abu Hurairah menegurnya, “Wahai saudaraku seislam! Apa yang akan kau perbuat bila pada hari kiamatkelak Allah menuntut kamu memurnikan susu itu kembali dari airnya?”


EMPAT PERTANYAAN
DI HARI PENGHISABAN

Abdurrahman bin Auf Ra adalah seorang sahabat yang paling kaya. Sesudah Nabi Saw menigal dunia, ada seorang sahabat lain yang berkata kepadanya, “Ya Abdurrahman, kami khawatir ajalmu diundur oleh Allah sehingga tidak cepat menyusul kepergian Rasulullah Saw.”
Abdurrahman bin Auf bertanya keheranan, “kenapa, ya sohibku?”
Orang itu berkata lagi, “Apakah kamu tidak pernah mendengar hadist Rasulullah Saw yang menyatakan: Tidak akan beranjak kaki seorang hambah pada hari kiamat sebelum ditanya tentang empat hal. Masa mudahnya, untuk apa ia lakukan (aktivitas-aktivitas apa yang dilakukannya):usianya, untuk apa ia gunakan: Ilmunya, untuk apa ia amalkan: dan hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk kepentingan apa dia nafkahkan.”
Selajutnya orang itu berkata, “Masa mudahnya ditanya sekali, usianya ditanya sekali, ilmunya ditanya sekali, akan tetapi hartanya ditanya dua kali, dari mana dia peroleh dan untuk apa dibelanjakan.”
Mendengar penuturan sahabatnya itu, Abdurrahman bin Auf menjawab pasrah, “Apa salahku kalau aku membelanjakan 100 di pagi hari, lalu Allah memberikan kepadaku 1000 di malam hari?”


SUCI HATI DAN KEMISKINAN

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Nabi Saw membawa daging matang seraya berkata, “Ya Rasulullah, terimalah ini untuk para fakir miskin yang membutuhkannya.”
Pada waktu itu kebetulan para fakir miskin yang ada di masjid Nabawi sudah makan malam. Nabi Saw bertanya kepada mereka, “Adakah di antara kalian yang masih mau makan daging itu?” mereka menjawab serentak, “tidak, ya Rasulullah. Bukankah kami sudah makan malam?”
Rasulullah Saw kemudian menyuruh abu Hurairah Ra mengantarkan daging itu kepada Ummul yatama, seorang wanita yang ditinggal suaminya dan mempunyai beberapa anak. Setiba di rumah ibu itu, Abu Hurairah mengetuk pintu ruamahnya. Ibu itu bertanya, “Siapa diluar?” Abu Hurairah menjawab, “Saya, Abu hurairah. Saya diutus oleh Rasulullah untuk mengantarkan daging matang untukmu dan untuk anak-anakmu.”
Namun kemudian ibu itu berkata dengan ramah, “Sampaikan salamku untuk Rasulullah Saw. Semoga beliau dan Anda mendapatkan balasan yang setimpal atas kemurahan ini. Aku dan anak-anakku, Alhamdulillah sudah makan. Mereka kini sudah tidur semua.”
Abu Hurairah masih mau memaksanya. Katanya, “terima saja, ya Ummul Yatama, besok pagi kalau anak-anakmu bangun tidur berikanlah daging ini.”
Akan tetapi ibu itu menolak seraya berkata, “Wahai Abu Hurairah, siapa yang menjamin bahwa kami akan hidup hingga esok pagi? Bawa saja daging itu dan berikan kepada orang yang lebih fakir miskin.”


PEMBAGIAN YANG DIBERKATI

Seorang sahabat yang mulia, abu Qallabah Ra berkisah: ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku melihat awan berarak-arak di langit menuju suatu tempat. Lalu aku seperti mendengar suara yang memerintahkan awan-awan itu: “Siramkan airmu ke ladang si Fulan!” Aku begitu penasaran dengan peristiwa tersebut, maka ikutilah terus kemana awan itu berarak. Setelah sampai di ladang si Fulan, awan-awan itu menumpahkan air hujan seluruhnya ke ladang itu. Sesudah hujan lebat usai, aku berusaha menemui pemilik ladang itu dan bertanya, “Wahai saudaraku, apa yang telah anda lakukan selama ini hingga saudaraku, apa yang telah Anda lakukan selama ini hingga ladang anda begini subur karena seringnya disirami air hujan?”
Lelaki itu menjawab kepadaku dengan tawadhu, “Ya sahabat, yang kulakukan selama ini hanyalah, bila aku diberi karunia oleh Allah Ta’ala, aku selalu membagi hasil penennya menjadi tiga bagian. Satu bagian untuk para fakir miskin, satu kupakai untuk membeli bibit untuk ditanam kembali.”


PAHLAWAN AQIDAH DAN JIHAD

Di jaman Khalifah Umar bin khatthab Ra, pasukan bersenjata kaum muslimin dikirim untuk menggempur dan menghalau pasukan Romawi yang mengancam keutuhan negara islam.
Ketika kedua pasukan itu sedang berkecemuk, Hercules, kepala Negara Romawi, berhasil melawan hidup-hidup seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Hudzaifah Ra dan beberapa orang tentang muslim.
Kaisar romawi memerintahkan prajuritnya agar tawaran perang itu diharapkan dan dipaksa masuk agamanya (Nasrani). Kaisar berusaha membujuknya. Katanya, “Hai Abdullah! Kalau engkau masuk agama kami, maka kau akan aku beri kekuasaan setengah dari kekaisaranku ini…!”
Namun Abdullah bin Hudzaifah Ra menjawab, “Hai Hercules! Meskipun Anda menjanjikan dunia seluruhnya kepadaku, aku tetap tidak sudi menukar dengan agama yang dibawa muhammad Saw!”
Hercules penasaran. Dia berkata lagi, “Hai Abdullah! Kalau engkau tidak mau masuk agamaku (Nasrani), maka kami akan menyiksamu dengan siksaan yang pedih!”
Ancaman itu dijawab Abdullah dengan berani, “Anda hanya bisa menyiksa tubuh yang fana, sedang rohku, sudah kuserahkan kepada Allah Ta’ala.”
Karena tidak mempan juga dengan ancaman, maka Hercules memerintahkan perajurinya agar Abdullah disalib. Kedua tangan dan kakinya dibidik dengan anak-anak panah. Setiap kali terkena anak panah, tidak satu ucapan rintihan pun yang keluar dari mulutnya, selain ucapan: “laa ilaaha illallah”.
Akhirnya Hercules memerintahkan agar Abdullah diturunkan dari tiang gantungan. Tapi kemudian dia memerintahkan pasukannya untuk memasak air sampai mendidih tersebut. Katanya, “hai Abdullah! Kalau engkau masih tidak mau juga masuk Nasrani, kau harus masuk sendiri ke dalam qidir yang sedang mendidih itu, atau yang akan memaksamu masuk!”
Abdullah bin hudzaifah Ra hanya diam saja dan menghampiri qidir itu. setiba di dekatnya, ia menangis, melihat Abdullah menangis, Hercules amat gembira. Dengan nada girang ia bertanya, “hai Abdullah, kenapa engkau menangis?”
Abdullah bin Hudzaifah Ra menjawab, “Demi Allah, aku menangis bukan karena takut. Aku tahu kalau tidak sekarang, besok pun aku akan mati dan kembali kepada Allah Ta’ala. Aku hanya menyesal karena hanya memiliki satu nyawa saja yang bisa dipersembahkan kepada Allah. aku ingin memiliki seratus nyawa yang anda siksa di jalan Allah…”
Hercules amat kecewa mendengar jawaban Abdullah. Setelah dengan ancaman dan siksaan tidak berhasil, maka ia menggunakan cara lain dengan menyodorkan seorang wanita yang amat cantik kepada Abdullah, Hercules memerintahkan pasukannya agar Abdullah bin Hudzaifah Ra dikurung dalam sebuah kamar semalam suntuk bersama seorang wanita yang cantik jelita dan pandai merayu.
Keesokan harinya Hercules bertanya kepada perempuan itu tentang apa yang terjadi semalam. Perempuan itu menjawab, “saya mohon maaf baginda, saya tidak mengerti kepada siapa baginda mengirim saya, apakah kepada seorang manusia atau kepada batu. Setiap kali saya melangkah di hadapannya, setiap kali itu pula ia mengucapkan: Laa ilaaha illallah!
Karena masih belum “mempan” juga upaya Hercules, maka dia memasukkan Andullah ke dalam sebuah rel. di situ Abdullah bin Hudzaifah Ra terkunci seorang diri. Dia tidak diberimakan dan minum selama tiga hari, selain diberi daging babi dan minuman keras. Selama tiga hari itu dia diamati dari jauh oleh Hercules. Ternyata ia sama sekali tidak menyentuh makanan dan minuman yang diharamkan-Nya. Dia hanya shalat dan berdzikir menyebut asma Allah ta’ala. Setelah tiga hari, Hercules bertanya kepadanya, “Karena engkau tidak mau makan dan minum, padahal engkau dalam keadaan terpaksa?”
Abdullah bin Hadzaifah menjawab, “Aku khawatir musuh-musuh Allah akan bersuka cita kalau melihat aku melanggar larangan agama Allah.”
Sesudah dayaupaya tidak berasil merubah sikap Abdullah, akhirnya Hercules memanggil Abdullah Ra. dia berkata, “Hai Abdullah! Aku akan membebaskanmu dengan syarat engkau mau mencium kepalaku.”
Abdullah bin Hudzaifah menjawab, “Aku bersedia kalau semua kawan-kawanku dibebaskan juga!”
Akhirnya Hercules mengeluarkan surat pembebasan Abdullah bin Hudzaifah Ra dan kawan-kawannya. Setelah dibebaskan Abdullah bersama kawan-kawannya pulang kembali ke Madinah Al Munawarah dan menghadap Amirul Mukminin, Umar bin Khattab Ra. Abdullah Ra menceritakan semua kisahnya dengan Hercules, juga dikisahkan tetang keadaan Romawi Timur yang diketahuinya. Dia juga berkisah bahwa dia dibebaskan sesudah mau mencium kepala Kaisar Hercules. Setelah mendengar kisah terakhir ini Khalifah Umar Ra memerintahkan kaum muslimin yang hadir supaya mencium kepala Abdullah bin hadzaifah Ra sebagai penghargaan atas kepahlawanan keteguan imannya!


KASIH SAYANG MUKMIN
TERHADAP BINATANG

Sesudah menaklukkan Tunisia, panglima tertinggi pasukan Islam di Afrika Utara, Uqbah bin Nafi’ Ra memerintahkan kepada pasukan zininya untuk membangun sebuah kota disana yang kemudian mereka namakan kota Kairum.
Setelah pasukan itu meninjau lokasi tempat yang dimaksud, mereka melapor bahwa di tempat itu banyak ditumbuhi alang-alangyang tinggi lagi lebat, juga dihuni oleh banyak binatang buas, antara lain singah, serigala dan ular.
Uqbah bin Nafi Ra pergi sendiri ke tempat itu. dia bediri di tepi padang alang-alang seraya berkata, “Hai Jama’ah singah, serigala, ular dan semua hewan yang ada di daerah ini! Kami adalah para sahabat Rasulullah Saw. kami akan membangun sebuah kota di daerah ini. Kami berharap kalian segerah meninggalkan daerah ini dengan aman dan damai. Kalau kalian tidak mau, jangan kami dipermasalahkan bila kami bertindak dengan kekerasan.”
Para perajurit yang menyasikan peristiwa itu terheran-heran, mengapa panglima mereka berbicara dengan binatang buas. Namun tidak lama kemudian, binatang itu keluar dari persebunyiannya dan hijrah ke tempat lain. Dalam kesempatan seperti itu beberapa orang parajurit mengusulkan kepada Ubah bin Nafi’, “Wahai panglima, bagaimana kalau kami bunuh saja binatang-binatang yang sedang pindah tempat itu?”
Uqbah bin Nafi’ amat marah mendengar usulan prajuritnya. Dia berkata, “Bagaimana kalian ini…, kalau kita membunuh mereka berarti kita telah melanggar janji kita kepada Allah Ta’ala Bukankah kita sudah memberikan keamanan dan kedamaian kepada binatang-binatang itu? Kenapa kita melanggar janji kita sendiri?”


NILAI
SEORANG WANITA MUSLIMAH

Pada jaman Khalifah Al Mu’ tashim, dalam suatu peperangan dengan pasukan Romawi, seorang wanita Islam ditawan pasukan musuh. Wanita itu berteriak-teriak, “Oh Islam! Oh umat Muhammad! Oh Mu’tashim!”
Medengar lapuran tentang jeritan wanita muslimah yang ditangkap dengan paksa oleh pasukan musuh itu, Khalifah Al Mu’tashim menulis surat kepada Kaisar Romawi. Bunyinya:
Amma ba’du.
Dari Abdullah Al Mu’tashim, Amirul Mukminin, kepada Kaisar Romawi, Naqfur!
Setibah suratku ini aku mengharap Anda membebaskan wanita muslimah yang ditangkap pasukan Anda. Kalau tidak, demi Yang mengirim Muhammad dengan kebenaran, aku akan mempersiapkan untuk Anda suatu pasukan yang ujungnya ada di negeri Anda, dan ujung satunya ada di negeriku ini!
Kaisar Romawi menggigil menerima surat ancaman  Kalifah Al Mus’tashim itu. dan dia segera membebaskan wanita muslimah tersebut.


MULIANYA KEBENARAN
DI TANGAN ORANG MULIA

Panglima tertinggi pasukan Islam, Syaifullah Khalid bin Walid Ra megirim surat itu antara lain :
Sebaiknya anda ber-Islam jika menghendaki selamat. Kalau tidak, maka saya akan datang membawa pasukan berani mati. Mereka mencintai kematian seperti hal kalian mencintai kehidupan.
Sesudah surat diterima oleh kisra, ia mencoba bantuan kaisar Cina. Tetapi Kaisar Cina menjawab, “Wahai Kisra! kami tidak sanggup melawan pasukan mereka yang jika  mereka menghendaki menumbangkan gunung, mereke sanggup  melakukanya!”


MANUSIA YANG PALING BESAR
GANJARANNYA

Pada suatu Rasulullah Saw bertanya kepada suatu jam’ah yang terdiri dari para sahabatnya, “Wahai sahabatku, menurut kalian, siapa yang paling besar  keimanan dan ganjarannya?”
Para sahabat menjawab, “sudah para malaikat, ya Rasulullah.”
Tetapi Rasulullah menggeleng seraya berkata, “Bagaimana mereka tidak akan beriman, sedang mereka ada di sisi Robbnya.”
Kemudian para sahabat menjawab lagi. “Para Nabi, ya Rasulullah.”
Nabi Saw kembali menggeleng  seraya berkata, “Bagaimana mereka tidak kan beriman, sedang mereka menerima wahyu.”
Untuk yang ketiga kalinya para sahabat menjawab, “kalau begitu, kami ini, ya Rasulullah.”
Tetapi Rasulullah masih juga menggeleng. Akhirnya para sahabat menyerah tidak bisa menjawab. Maka rasulullah bersabda: “Mereka itu adalah suatu kaum yang hidup sesudahku. Mereka percaya dengan isi Al-Qur’an dan mengamalkannya. Mereka adalah manusia yang paling besar keimanan dan ganjarannya.”


BERBEKAL KESABARAN

Pada suatu hari Al Iman ibnu Abbas Ra sedang menunggu kuda. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang menghampirinya dan menyatakan duka cita kepadanya. Orang itu berkata, “ Azzhamallah ajrak, ya Ibnu Abbas! Ayahmu telah meninggal dunia!”
Mendengar berita tersebut, Ibnu Abbas Ra hanya terucap, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Wa laa haula walaa quwata illa billah.” Lalu ia turun dari kudanya dan shalat dua raka’at. Seusai Ibnu Abbas shalat, orang itu bertanya keheranan, “mengapa anda sambut dengan shalat setelah aku memberitahukan kematian ayahmu, ya Abdallah?”
Ibnu Abbas Ra menjawab, “Apakah engaku tidak pernah mendengar firman Allah Ta’ala yang memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah 153)


DOA SEBATANG POHON

Pada suatu malam seorang sahabat Rasulullah saw yang mulia, abu sa’id Al Khudari Ra bermimpi dan mengisahkan mimpinya kepada Rasulullah Saw. katanya, “Ya Rasulullah, aku melihat dalam mimpiku seolah-olah aku sedang duduk-duduk dibawah pohon. Lalu aku dengar pohonan itu membaca surat Shad. Sesudah selesai membaca ayat sajadah, iapun bersujud kepada Allah Ta’ala seraya berdoa:

“Ya Allah, catatlah di sisi-Mu untukku ganjaran, dan gugurkanlah dengan itu dosa-dosaku, dan jadikanlah ia sebagai tabunganku dan terimalah amalku itu seperti Engkau menerimanya dari hamba-Mu daud.”

Sesudah Rasulullah Saw mendengarkan mimpi yang dilihat Abu Sa’id Al Khudari Ra, beliau bertanya, “Apakah engkau juga bersujud, ya Aba Sa’id?” Abu sa’id menjawab, “tidak, ya Rasulullah.” Rasulullah lalu berkata kepadanya, “sesungguhnya engkau lebih layak bersujud daripada pohonan itu!”
Selanjudnya Abu Sa’id berkisah, “Pada suatu hari aku melihat rasulullah saw bersujud sesudah membaca ayat sajadah, dan membaca doa seperti yang dibaca pohonan dalam mimpiku itu!”


LIMA AYAT PILIHAN

Diriwayakkan oleh Ibnu Mas’ud Ra. Katanya, “Sesudah membaca kelima  ayat Al Qur’anul Karim rasanya dunia dan seisinya tidak ada artinya lagi bagiku. Kelima ayat tersebut adalah:

1.      “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahan (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (syurga).” (An Nisaa 31)
2.      “Sesudahnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya allah akam melipat gandakan dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (An Nisaa 40)
3.      “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An Nisaa 48)
4.      “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha pemerima Taubat lagi maha Penyayang.” (An Nisaa 64)
5.      “Barangsiapa yang mengajarkan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan allah maha mengerti lagi Maha Bijaksana.” (An nisaa 111)


PERANGAI SEORANG SAHABAT

Salah seorang sahabat Rasulullah Saw, Jarir Al Bajali Ra telah mengirimkan budaknya untuk mencari kuda yang baik. kebetulan kuda yang dikehendaki ada pada seorang pedagang. Budak itu bertanya kepada penjual kuda, “Berapa harga kudamu itu?”
Penjual kudan menyebutkan keinginannya. Katanya, “aku mau menjual kudaku sekian.”
“Baik,” kata budak itu. “Sekarang aku ajak engkau menemui majikanku untuk mewujudkan jual-beli ini,” sambungnya kemudian.
Budak itu lalu menuntun kuda tersebut ke depan majikannya bertanya, “Berapa engkau membeli kuda itu, ya ghulam?”
Budaknya berkata, “400 dirham, tuan!”
Mendengar harga yang disebutkan budaknya, Al Bajali Ra tidak segera menyerahkan pembayarannya tetapi terlebih dahulu bertanya, “Berapa engkau hendak menjual kudamu? Apakah engkau mau menjualnya 500 atau 600 dirham?”
Si penjual kuda diam mendengar pertanyaan itu. dia sungguh heran mengapa kuda yang ditawarkannya sebesar 400 dirham malah ditawar lebih tinggi oleh si pembeli yakni 500 atau 600 dirham. Tetapi Al Bajali terus menaikan harga kuda itu. katanya, “kalau begitu, apakah engkau mau menjualnya 700 atau 800 dirham?
Kenaikan harga yang ditawar si pembeli membuat si penjual bertanya heran, “Sungguh, saya tidak pernah melihat orang lain yang menaikkan harga kuda saya selain dari tuan…”
Al Bajali Ra segera menjawab, “Wahai penjual, aku sudah berjanji kepada Rasulullah Saw untuk bersikap jujur dan polos terhadap semua orang muslim. Kudamu itu harganya sekitar 800 dirham. Kalau aku membelinya kurang dari harga yang sebenarnya maka aku telah mengkhianati janjiku kepada Rasulullah Saw.”


SALAH SATU DOA
YANG MUSTAJAB

Dibawahkan oleh Anas malik Ra. katanya, “Ada seorang sahabat Rasulullah bernama Abu ma’laq. Dia seorang saudagar yang menjual barangnya dan juga menjual barang orang lain. Orang itu sangat taat dan taqwa kepada Allah.
Pada suatu hari ia dihadang oleh seorang penyamun berdarah dingin. Penyamun itu menghadirkannya, “Tinggalkan barang bawahanmu itu! aku akan membunuhmu!”
Abu Ma’laq berkata kepada penyamun itu, “Ambilah semua hartaku itu.” Tetapi sipenyulam itu berkata, “Aku tidak butah hartamu! Aku butuh nyawamu!”
Sebelum dibunuh, Abu ma’laq memohon kepada si penyamun, “kalau begitu, ijinkanlah aku shalat terlebih dahulu.”
Penyamun mengijinkannya melakukan shalat. Maka Abu Ma’laq pergi berwudhu dan shalat. Setelah shalat dia berkata:

“Ya Allah, Al Wadud! Wahai yang memiliki ‘Arsy yang tinggi, wahai zat yang Mahakuasa melakukan apa saja. Aku memohon atas nama kemuliaan-Mu yang tiada terjangkau, dan kerajaan-Mu yang tiada teraniaya. Dan dengan nur cahayah wajah-Mu yang meliputi seluruh penjuru kerajaan-Mu, selamatkanlah aku dari kejahatan si penyamun ini. Wahai Allah yang Maha Penolong, tolonglah aku diselamatkan!”

Abu Ma’laq mengucapkan doa itu sampai tiga kali. Tiba-tiba dalam sekejab ia melihat ada seorang penunggang kuda yang melemparkan tombak ke arah si penyamun sehingga tewas seketika. Kemudian penunggang kuda itu pergi menghampiri Abu Ma’laq.
Abu ma’laq bertanya kepadanya, “Siapakah tuan yang telah menolongku ini?”
Dia menjawab, “Aku malaikat dari penghuni langit keempat. Ketika engkau berdoa, aku mendengar pintu-pintu langit terketuk. Kemudian engkau berdoa lagi, aku mendengar suara ketukan itu semakin keras, dan kala yang ketiga kalinya engkau berdoa, ada yang memberitaukan kepadaku bahwa ini tentu doa orang yang sedang ditimpa petaka. Maka aku memohon kepada Allah Ta’ala supaya Dia menyerahkan tugas itu ke tanganku. Lalu Allah berfieman: “sampaikanlah berita gembira ini dan ketahuilah, siapa yang berwudhu’ dan shalat empat rakaat, kemudian berdoa dengan doa itu, maka akan disambutnya, baik bagi yang sedang ditimpa duka derita maupun tidak.”


ULAMA WANITA

Salah seorang sahabat wanita Rasulullah Saw, Ummud Darda’Ra sering mengajarkan ilmu agama di Masjid Al Amawi di Damaskus.
Ketika Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan Ra mendengar berita ini, timbul hasratnya untuk menambah ilmu darinya. Maka ia berkata, “Aku akan pergi ke Masjid untuk belajar dari Ummud Darda’.” Lalu beliau pergi menyamar dan duduk di balik Dia mendengarkan pelajaran-pelajaran tersebut dengan tekun, baik di bidang tafsir, fiqih, hadits dan lain-lain.


KETAQWAAN
RABI’AH AL ADAWIYAH
(TOKOH WANITA SUFI)

Pada suatu hari, ketika Rabi’ah masih berusi enam tahun, ia diberi makanan oleh ayahnya. Namun ia tidak mau memakan makanan yang disuguhkan ayahnya itu. ayahnya tentu saja kurang senang dan menegur perbuatannya, “Ya Rabi’ah, mengapa kamu tidak mau makan?”Rabi’ah menjawab, “Ya Ayah, aku tidak maumakan sebelum aku mengetahuinya apakah ia dari barang/sumber yang halal atau haram.”
Ayahnya berkata mengguruinya, “Kalau makanan itu haram dan tidak ada lagi yang bisa dimakan, apakah itu tidak dibenarkan?”
Putrinya menjawab tegas, “Wahai ayah, aku tetab akan bersabar menghadapi lapar di dunia dari pada aku harus bersabar menghadapi siksa api neraka di hari kiamat kelak.”


JAWABAN BERHIKMAH

Pada suatu hari ada seorang bertanya kepada Rabi’ah Al Adawiyah, “Mengapa engkau tidak meminta dicarikan pembantu untuk meringankan bebanmu di rumah?”
Rabi’ah menjawab, “Demi Allah, aku malu minta dunia kepada yang punya dunia, apalagi disuruh meminta dunia kepada yang tidak memilikinya!”
Pada satu ketika Abu Amer bin EI ‘Ala ditanya oleh seseorang, “Apakah seorang tua masih pantas belajar (memperdalamilmu)?”
Abu Amer bin EI ‘Ala menjawab, “Kalau ia masih bernafsu (berkeinginan) hidup, sebaiknya ia belajar terus!”
Usman bin Affan perna pula bertanya kepada Amir bin Qais Al Anbari, “Ya Amir, dimana Robbimu?”
Amir menjawab, “Dia bil mirshad (Dia selalu mengamati makhluk-Nya)!”


KEIKHLASAN

Di jama’ah Khalifah Umar bin Abdul Aziz Ra konon serigala mengawal gembala kambing. Kejadian ini benar-benar membuat penggembala kambing Umar bin Abdul Aziz heran dan seakan tak percaya karena sebagaimana kita ketahui, serigala adalah pemangsa kambing.
Para penggembala itu bertanya, “Ya Amirul Mukminin, kami seakan tak percaya melihat ada serigala menawal sekawanan kambing!”
Maka Umar bin Abdul Aziz RA berkata kepada mereka, “Aku ikhlaskan hubunganku dengan Robbku, lalu Allah mengikhlaskan hubungan antara serigala dengan kambing.”


AMANAT DAN JABATAN

Pada suatu hari bibi Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz Ra pergi kerumahnya dengan maksud hendak meminta tambahan dan baitulmal. Ketika dia masuk, dia melihat keponakannya yang amirul Mukmini itu sedang memakan kacang adas dan bawang (makanan rakyat biasa).
Melihat bibinya datang Umar bin Abdul Aziz menghentikan makannya. Dia sudah mengetahui maksud kedatangan bibinya.
Umar bin Abdul Aziz kemudian mengambil sedirham uang perak, lali dibakarnya di atas api. Sesudah cukup panas, ia bungkus uang perak itu dengan kain dan diberikan ke tangan bibinya. Katanya, “Inilah tambahan yang bibi mintakan itu!”
Karuan saja, begitu tangan wanita itu mengenggam bungkusan tersebut ia menjerit kepanasan. Lalu Umar berkata menjelaskan, “Kalau api dunia terasa begitu panas, bagaimana dengan api kaherat kelak yang akan membakar aku dan bibi karena menyelewengkan harta kaum muslimin.”


MAKANAN DI RUMAH KHALIFAH

Sesudah shalat Isya biasanya Amirul Mukminin Umar bin abdul Aziz Ra pergi menemui puteri-puterinya dan mengucapkan salam kepada mereka.
Pada suatu malam, mereka merasa ayahnya tengah memasuki ruangan mereka. Lalu mereka berpura-pura memasukkan tangan mereka ke dalam mulutnya, dan kemudian cepat-cepat pergi.
Umar bin Abdul Aziz Ra agak heran melihat sikap puteri-puterinya yang tidak biasanya begitu. Maka ia bertanya kepada pembantunya, “Kenapa mereka meninggalkan tempatnya?” Pembantunya menjawab, “Karena mereka tidak mempunyai makanan selain dari kacang adas dan bawang, dan mereka tidak ingin baginda mengetahui hal ini.
Mendengar penuturan tentang puteri-puterinya itu Umar bin Abdul Aziz menangis. Lalu ia berkata menjelaskan kepada puteri-puterinya, “Wahai puteri-puteriku tersayang, apalah artinya kalian makan bermacam-macam makanan yang lezat dan gurih kalau nantinya bisa menghantarkan ayah kalian ke dalam lembah api neraka.”
Mendengar penuturan ayahnya itu mereka pun ikut menangis terharu dan menyadari beratnya tanggung jawab ayahnya sebagaimana kepala negara Islam.


ISTANA KHALIFAH

Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan dibesarkan dalam sekolah Islam dan terdidik ilmu Al Qur’an. Ayahnya adalah seorang khalifah, Abdul Malik bin Marwan, dan suaminya juga seorang khalifah, yakni Umar bin Abdul Aziz. Keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid, Sulaiman, Al Yazid, dan Hisyam.
Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz, pada waktu itu Umar masih layaknya orang kebanyakan, bukan sebagai calon pemangku jabatan khalifah.
Sebagai puteri dari saudari para khalifah, perkawinan Fatimah dirayakan dengan resmi dan besar-besaran, dan ditata dengan perhiasan emas mutu-manikam yang tiada ternilai indah dan harganya. Namun sesudah perkawinannya usai, sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, Isteri tercintanya. Umar berkata kepadanya, “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu diantara dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?”
Umar bin Abdul Aziz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai dengan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
“Demi Allah,” kata Fatimah, “Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.’
Kemudian Khalifah Umar bin Aabdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.
Pada suatu hari raya puteri-puterinya datang kepadanya, “Ya Ayah, besok hari raya. Kami tidak punya baju baru…”
Mendengar keluhan puteri-puterinya itu, khalifah Umar berkata kepada mereka, “Wahai puteri-puteriku sayang, hari raya itu bukan bagi orang yang berbaju baru, akan tetapi bagi yang takut kepada hari ancaman Allah.”
Mengetahui hal tersebut, pengelolah baitulmal berusaha menengahi, “Ya Amirul Mukminin, kiranya tidak akan menimbulkan masalah kalau untuk baginda diberikan gaji di muka setiap bulan.”
Umar bin Abdul Aziz sangat marah mendengar perkataan pengurus baitulmal. Ia berkata, “Celaka engkau! Apakah kau tahu ilmu gaib bahwa aku akan hidup hingga esok hari?!”
Ketika ajalnya tiba, beliau meninggalkan 15 orang anak lelaki dan perempuan. Banyak keluarganya yang datang menanyakan, apa yang ditinggalkan beliau untuk anak-anaknya. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Aku tinggalkan untuk mereka ketaqwaan kepada Allah. kalau mereka tergolong orang-orang yang shaleh, maka Allah telah menjamin akan mengayomi mereka. Tetapi kalau mereka tergolong orang-orang yang tidak shaleh, aku tidak akan meninggalkan apapun yang bisa mereka gunakan untuk bermaksiat kepada Allah.”
Kemudian Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada karib kerabat dan isterinya, fatimah agar meninggalkannya seorang diri. Ucapannya, “Ya Fatimah, isteriku sayang…keluarlah dan tinggalkan aku sendiri menyambut kedatangan makhluk asing yang sedang memasuki kamarku ini. Mereka bertubuh nurani, beraneka ragam sayapnya, ada yang bersayap dua, tiga dan empat. Tinggalkanlah aku sendirian, wahai sayangku. Rohku sudah siap menyertai para pengawal itu menjadi tamu agung Allah Ar Rahman.”
Menjelang rohnya meninggalkan jasadnya, beliau mengulang-ulang firman Allah Ta’ala:

“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Demikianlah Umar bin Abdul Aziz, khalifah Ar Rasyidah yang kelima meninggalkan dunia yang fana ini. Dia digantikan oleh iparnya, Yazid bin Abdul Malik.
Pada suatu hari yazid memanggil saudarinya, Fatimah seraya berkata, “Fatimah, aku tahu suamimu, Umar bin Abdul Aziz telah merampas semua perhiasanmu dan memasukkannya ke Baitulmal, kalau engkau mau, maka kukembalikan lagi perhiasan itu kepadamu.”
Namun dengan tegas Fatimah menjawab, “Ya Yazid! Apakah kau hendak memaksa aku mengambil apa yang oleh Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz telah diberikan kepada Baitulmal?! Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, aku tidak akan mentaatinya pada waktu hidup dan menggusarkannya sesudah beliau meninggal dunia walaupun hanya sedikit!”
Kekuasaan Khilafah Umar bin Abdul Aziz hanya berusia tiga puluh bulan, tetapi kekuasaannya yang singkat itu bagi Allah Ta’ala bernilai lebih dari tiga puluh abad. Beliau meninggalkan dunia fana ini dalam usia muda, yakni usia empat puluh tahun.
Pada jaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz Radhiallahu ‘anhu, pasukan kaum muslimin sudah mencapai pintu kota Paris di sebelah barat dan negeri Cina di sebelah timur. Pada waktu itu kekuasaan pemerintahan di Potugal dan Spanyol berada di bawah kekuasannya. subhanallah!


NASIHAT
UNTUK SEMUA PENGUASA

Pada hari diselenggarakan bai’at Khalifah Al Manshur di jaman Abbasiyah, semua rakyatnya merasa gembira dengan naiknya seorang wajah baru dalam pemerintahan Islam. Pada hari itu telah datang ke tempat tersebut seorang ahli fiqih yang terkenal jika berbicara tegas dan berani, yaitu Muqatil.
Al Manshur mengamati Muqatil dengan seksama. Lalu dia berkata, “Demi Allah, dimana ada Muqatil, disitu akan timbul kekeruhan.”
Sesudah Muqatil duduk di tempatnya, Al Manshur berkata kepadanya, “Ya Muqatil, tolong nasihati aku.”
Muqatil menjawab, “Baiklah ya Amirul Mukminin. Nasihati apa yang Anda minta, nasihati dengan apa yang kulihat atau dengan yang kudengar?”
“Nasihati aku dengan apa yang kau lihat, ya Muqatil,” kata Al Manshur.
Muqatil mulai berkisah:

“Pada waktu khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggalkan dunia, beliau meninggalkan 11 anak lelaki, dan mewariskan 18 dinar. Dinar itu digunakan untuk membeli kafan (4 dinar), untuk membeli kuburan (5 dinar), dan sisanya baru dibagi-bagikan kepada ahli warisnya.
Pada suatu ketika Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya orang tentang anak-anaknya. Beliau menjawab, “Anak-anakku itu salah satu dari dua. Bisa seorang taqwa yang senantiasa mendapat pengayoman Allah dan memberinya jalan keluar, atau bisa juga sebagai para pembangkang yang membuat aku enggan meninggalkan sesuatu yang bisa digunakannya untuk lebih mudah dan lebih berani membangkang kepada Allah.